Mohon tunggu...
Harry Wijaya
Harry Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Asal Depok, Jawa Barat.

Deep thinker. Saya suka menulis esai, cerpen, puisi, dan novel. Bacaan kesukaan saya sejarah, filsafat, juga novel.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Di Bawah Boemi Pertiwi

1 Februari 2020   18:53 Diperbarui: 1 Februari 2020   18:57 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Keesokan paginya, datang dua orang prajurit Belanda yang mengeluarkan Supardi dari sel. Salah satu tentara memegang cangkul yang langsung diberikan kepada Supardi. Ternyata ia segaja diberi makan enak semalam, karena akan diperas tenaganya keesokan hari. Supardi di antar menjauh dari kamp. Salah satu tentara mendorongnya agar berjalan lebih cepat. Sampai akhirnya mereka berhenti dan Supardi mulai menggali tanah.

"Werken! Werken!" Kata para tentara Belanda yang mengawasi Supardi.
Supardi dengan sabar menggali tanah dengan cangkul itu. Dalam hatinya, ada keinginan untuk kabur. Akan tetapi ia masih berpikir jernih, dua moncong senapan siap menembaknya jika ia berani kabur. "Tidak! Belum saatnya aku mati! Para bajingan ini belum pergi dari tanahku!" Kata Supardi dalam hatinya. Ia mulai emosi, segala perasaan marah dan emosinya ia luapkan dengan menggali tanah. Sampai tak terasa ia sudah menggali sampai sedalam pinggulnya.

Para tentara itu menyuruhnya terus menggali, padahal siang itu sudah semakin panas dan Supardi mulai kehabisan tenaganya. Akan tetapi moncong senapan Belanda memaksanya terus bekerja. Sesekali ia melihat sekitar, tak ada tahanan lain yang disuruh bekerja seperti dirinya. Para tahanan lain terlihat ada di dalam selnya masing-masing. Saat sibuk memperhatikan, pandangannya terhenti saat melihat Gerard di depan tendanya sedang menonton dirinya menggali tanah. Lengkap dengan segelas kecil wine di tangannya.

"Wat heb je gezien?! Werken!" Bentak tentara Belanda sambil melempar tanah ke arah Supardi.

Supardi kembali fokus menggali tanah dengan segala sisa tenaga yang ada. Keringat mengucur membasahi badannya, begitu juga dengan kotoran tanah yang menempel di kulitnya. Terkadang beberapa batu menyulitkannya menggali, namun ia selalu punya cara untuk memecahkannya. Perhatiannya kembali teralihkan saat para tentara melempar roti ke setiap sel. Akan tetapi Supardi yang sejak pagi bekerja belum juga di beri makanan.

Tak terasa langit perlahan mulai gelap, Supardi berhenti dan duduk di dalam lubang yang sudah sedalam 2 meter lebih itu. Bahkan dengan tenaganya yang sudah habis, Supardi tak mampu memanjat naik. Ia terjebak di dalam lubang yang ia gali sendiri, duduk terkulai lemas sambil memegang cangkul. Tiba-tiba suara tembakan senapan membuatnya terkejut, dengan segera ia kembali berdiri dan kembali menggali tanah walau badannya sudah begitu lemah. Ia hanya mengayun-ayunkan cangkul itu ke tanah dengan lemah. Wajahnya pucat, nafasnya terengah-engah. Tentara Belanda yang memperhatikannya dari atas membiarkannya seperti itu.

Saat malam tiba, datang tentara lain yang menggantikan tentara sebelumnya yang sudah mengawasi Supardi sejak pagi. Berbeda dengan sebelumnya, tentara yang mengawas kali ini bisa berbicara bahasa Indonesia. Ia memperkenalkan namanya sebagai Pieter. Pieter terus menerus nmengoceh dan menghina Supardi yang sedang bekerja di bawah sana.

"Kalau aku bertemu dengan pasukanmu, akan kuberi tahu mereka. 'Pemimpinmu sedang menggali tanah untuk kami.' Kemudian apakah mereka akan senang?" Ucap Pieter dalam salah satu ocehannya yang merendahkan Supardi.

Supardi hampir kehilangan kesadarannya saat malam kian larut, nafasnya kian sesak dan ia tumbang malam itu. Badannya tergeletak di tanah, tangan dan kakinya tak mampu bergerak lagi. Bahkan untuk bernafas pun susah rasanya, wajahnya juga kian memucat bagaikan mayat. Ia berbaring lemah di dalam lubang yang ia gali dengan tangannya sendiri, menatap bintang-bintang di langit sambil membayangkan dirinya berada di rumah, bermain dengan anak-anaknya kemudian tidur bersama di ranjang yang empuk. Air matanya menetes malam itu, tubuhnya sudah tak berdaya.

Keesokan paginya Jendral Gerard menemukan Supardi telah terbaring sekarat di dalam lubang yang ia gali. Ia melihatnya sambil tertawa kecil dan menghembuskan asap rokok yang ia hisap. Di temani Pieter di sampingnya yang membawa sebuah sekop. Supardi sudah tak bisa bergerak lagi, dirinya sekarat dan mustahil bisa terselamatkan.

"Pieter ... kamu kubur dia! Biarkan dia mati di dalam liang kubur yang ia gali sendiri." Ucap Gerard yang kemudian menghisap rokoknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun