“Aku turun dulu. Hati-hati copet,” katanya setengah berbisik. Indah mengangguk.
Pemuda itu turun dengan cepatnya. Dia sempat melambaikan tangan kea rah Indah. Wanita cantik itu tersenyum. Baru kali ini dia mengenal pemuda sebaiknya. Andai saja Uyab seperti dirinya, tentu Indah akan merasa bangga.
Tidak terasa, lima menit Indah tenggelam dalam bayangan pemuda yang baik hati tadi. Semua masalah seakan lenyap dalam sekejap. Wajah Uyab pelan-pelan tergantikan oleh wajah pemuda tadi.
“Ayo turun, Mbak. Sudah sampai terminal,” tegur Kernet setengah mengagetkan.
Indah gelagapan. Cepat-cepat dia mencari-cari ransel kecilnya. Di mana keberadaan barang berharganya itu. Seketika wajahnya memucat. Hatinya kebingungan. Otaknya mulai mengutuk. Kepalanya celingak-celinguk.
“Silakan turun, Mbak,” teriak kernet itu lagi.
Tubuh wanita itu tetiba lunglai. Lemas. Hatinya semakin tidak karuan. Mau ke mana lagi dirinya mengadu. Semua tidak ada yang bisa dipercaya. Matanya terus mencari-cari. Siapa tahu terjatuh. Indah berdiri, kadang berjongkok. Kernet di belakangnya latah melihat ke bawah kursi Indah. Entah apa yang ada di dalam otaknya.
“Ada yang ketinggalan, Mbak ?” tanya Kernet itu menyelidik
“Ransel kecil saya,” jawab Indah sekenanya.
“Ransel kecil yang dibawa teman tadi kah ?” Tiba-tiba saja Kernet itu tertawa. Entah apa yang merasukinya. Indah terdiam.
Siang itu hujan begitu lebat. Angin kencang menerpa kegelisahannya. Awan nampak semakin menghitam. Berkelebat hebat di atas kanopi toko pinggir terminal. Masih terbayang bagaimana pemuda itu tertawa keras di ujung sana.