Indonesia saat ini memandang cakrawala masa depan di Abad 21 dengan sebuah visi kolektif dan ambisius: Indonesia Emas 2045. Visi ini bukanlah sekadar impian, melainkan sebuah konstruksi nasional yang kokoh ditopang empat pilar mencakup Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) dan penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK); Perkembangan Ekonomi Berkelanjutan; Pemerataan Pembangunan di seluruh negeri; serta Ketahanan Nasional dan Tata Kelola Pemerintahan yang baik.
Namun, di antara keempatnya, terdapat satu pilar yang menjadi fondasi paling mendasar: Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) dan penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).Â
Logikanya tegas dan tak terbantahkan: membangun manusia unggul, cerdas, terampil, dan menguasai teknologi--dua kunci utama menuju masa depan yang cerah--sangat bergantung pada satu hal vital: pendidikan bermutu.
Jika sistem pendidikan nasional kita mampu menghasilkan lulusan yang cerdas, terampil, dan menguasai IPTEK, maka pilar pertama ini akan berdiri kokoh, sekaligus menjadi landasan yang tak tergoyahkan untuk mewujudkan ketiga pilar Indonesia Emas lainnya sehingga siap hadapi tantangan Abad 21.
Alarm dari Panggung Global: Realitas yang Mengharuskan Perubahan
Sayangnya, perjalanan ambisius menuju puncak visi ini harus melewati tantangan berat yang disoroti oleh berbagai laporan global. Setidaknya ada beberapa alarm yang harus benar-benar menjadi perhatian kita untuk segera berbenah dan bangkit.
Tahun 2017 menjadi penanda penting ketika laporan Indeks Pendidikan (Education Index) yang dirilis oleh Human Development mengungkap kedudukan negara-negara dalam upaya mereka mendidik warganya. Dalam peta persaingan ASEAN, Indonesia dengan perolehan skor 0,622 menempati urutan ke-7 dan Singapura di posisi teratas dengan skor 0,832.
Adapun Malaysia di posisi kedua dengan skor 0,719. Kesenjangan ini berakar pada fondasi yang paling dasar: rata-rata lama sekolah. Angka-angka ini adalah cerminan nyata seberapa serius dan efektif upaya pendidikan di negara jiran.
Singapura, dengan rata-rata 11,5 tahun dan Malaysia menyusul ketat di belakangnya dengan rata-rata 10,2 tahun. Adapun Indonesia terasa berbeda di mana rata-rata lama sekolah hanya 8 tahun. Angka ini menceritakan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia terpaksa menghentikan langkah pendidikan mereka sebelum tuntas menyelesaikan bangku SMP.
Pada tahun 2019, posisi Indonesia dalam GTCI hanya berada di peringkat ke-6 di ASEAN. Global Talent Competitiveness Index (GTCI), sebuah tolok ukur komprehensif yang menilai seberapa baik sebuah negara mengembangkan, menarik, dan mempertahankan bakat terbaiknya.Â
GTCI adalah penilaian yang luas, mengukur segalanya mulai dari pendidikan formal dan vokasi hingga tingkat literasi baca-tulis dan hitung masyarakat, termasuk kontribusi akademis, seperti jurnal ilmiah dan relevansi sistem pendidikan dengan kebutuhan dunia bisnis.