Setiap manusia diberi anugerah kemampuan berbicara. Namun, tidak semua orang bisa melakukannya dengan baik.Â
Ada yang fasih tapi menusuk hati, ada yang singkat tapi sarat makna, ada pula yang panjang lebar namun kosong belaka.Â
Itulah sebabnya, bicara bukan sekadar urusan mulut yang bergerak dan pita suara yang bergetar. Bicara itu ada seninya.
Seni Menyampaikan, Bukan Sekadar Mengucapkan
Pernahkah kita mendengar seseorang berpidato dengan penuh semangat, tapi pesan yang disampaikan justru tidak masuk ke hati pendengar?Â
Atau sebaliknya, ada orang yang ucapannya sederhana, tenang, bahkan lirih, tapi justru mampu membuat kita termenung lama?Â
Bedanya ada pada seni.
Seni berbicara bukan tentang seberapa keras suara terdengar, melainkan bagaimana kata-kata dipilih, dirangkai, lalu dihidangkan.Â
Seperti seorang pelukis yang tahu kapan harus menambahkan warna terang dan kapan harus memberi ruang kosong, seorang pembicara yang baik tahu kapan harus menekankan kata, kapan perlu jeda, dan kapan harus diam.
Diam pun bagian dari seni bicara. Tidak semua yang dipikirkan harus diucapkan. Kadang, jeda hening jauh lebih berkesan dibandingkan seribu kalimat terburu-buru.
Bicara yang Membangun atau Meruntuhkan