Setiap orang pasti pernah jatuh. Entah jatuh di jalanan karena tersandung, jatuh dalam arti gagal di sekolah, pekerjaan, bisnis, bahkan dalam cinta. Tapi anehnya, banyak dari kita yang lebih sibuk menutupi rasa malu akibat jatuh itu, ketimbang memaknai kenapa kita bisa sampai terjatuh.
Pertanyaan reflektif pun muncul: "Kalau setiap kali jatuh kita malu, lalu kapan kita akan berani bilang: Aku jatuh karena aku berani jalan?"
Di balik pertanyaan ini, tersimpan filosofi sederhana: jatuh bukan tanda kelemahan, melainkan bukti bahwa kita sedang bergerak. Tidak ada orang jatuh karena diam. Tidak ada orang gagal karena tidak mencoba. Justru, orang yang paling aman dari rasa sakit jatuh adalah mereka yang memilih duduk diam, tidak ke mana-mana, tidak mencoba apa-apa. Tapi apakah itu kehidupan yang kita mau?
Jatuh Sebagai Bukti Perjalanan
Seorang bayi yang baru belajar berjalan selalu jatuh berkali-kali. Tangisnya kadang pecah, tapi apa yang membuat kita kagum? Bukan air matanya, melainkan keberaniannya untuk berdiri lagi dan mencoba lagi. Bayi tidak pernah berpikir soal "malu" karena jatuh. Dia hanya tahu satu hal: kalau ingin bisa berjalan, maka jatuh adalah bagian dari prosesnya.
Lalu, kenapa setelah dewasa kita begitu takut jatuh? Karena kita mengenal konsep "gengsi", "citra", dan "apa kata orang". Kita lupa, bahwa jatuh justru tanda kita berani melangkah.
Malu: Beban yang Membuat Kita Diam
Ketika jatuh, sering kali rasa malu lebih sakit daripada luka fisik atau kegagalan itu sendiri. Malu karena dianggap tidak kompeten, malu karena merasa kalah, malu karena komentar orang. Padahal, apa arti semua itu?
Malu adalah beban sosial yang sering kita pelihara sendiri. Kita menyusun standar tinggi di kepala, lalu merasa hancur ketika tidak bisa mencapainya. Padahal publik jarang sekeras itu. Orang mungkin menertawakan sebentar, lalu melupakan. Tetapi kita? Kita mengingat kegagalan itu bertahun-tahun.
Pertanyaan kritisnya: Apakah kita mau berhenti berjalan hanya karena takut jatuh lagi?
Keberanian untuk Bangkit Lagi