Oleh: Harmoko, Penulis Penuh Tanya
Di pusat perbelanjaan yang lampunya tak pernah padam, derap langkah ramai terdengar. Tapi lihat lebih dekat---keramaian itu ternyata ilusi. Banyak yang datang, melihat-lihat, mencoba produk, selfie di depan toko, lalu pulang... tangan kosong. Inilah generasi Rojali: rombongan jarang beli.
Sekilas, fenomena ini seperti tren sosial biasa, mungkin hanya gaya hidup baru. Tapi Badan Pusat Statistik (BPS) menafsirkan ini sebagai sinyal ekonomi yang patut dicermati: bukan kemiskinan langsung, tapi semacam ketegangan dompet yang perlahan mencekik antusiasme belanja. Dan itu bukan cuma milik si miskin. Kelas menengah pun kini mulai memilih antara jalan-jalan atau jajan---dan seringkali jajan dikorbankan.
"Rojali adalah sinyal penting bagi pembuat kebijakan untuk tidak hanya fokus menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga memperhatikan ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga kelas menengah bawah," - Ateng Hartono, BPS
Kelas Menengah: Motor Ekonomi yang Mulai Mengeluh
Dulu, kelas menengah disebut sebagai penopang ekonomi nasional. Mereka konsumtif, loyal terhadap merek, dan rajin mencicil. Tapi kini, survei Susenas Maret 2025 menunjukkan bahkan kelompok ini mulai mengerem konsumsi. Mungkin bukan karena kehilangan pekerjaan, tapi karena kehilangan keyakinan. Harga-harga naik, utang makin menumpuk, dan ekspektasi masa depan terasa samar.
Jangan salah, Rojali bukan orang yang tidak punya uang. Mereka hanya tidak lagi merasa cukup aman untuk menghamburkannya. Seperti kata pepatah baru:
"Dompet tak selalu kosong, kadang hanya penuh pertimbangan."
Jangan Tertipu Keramaian Mall
Mal masih ramai. Parkiran penuh. Tapi transaksi lesu. Ini paradoks yang menyesatkan. Banyak pemangku kebijakan masih terpukau oleh foot traffic, padahal real spending merosot. Data pengeluaran nyata harus dibedakan dari sekadar kehadiran fisik. Kalau tidak, kita hanya menghitung langkah kaki, bukan langkah ekonomi.