Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Trik Parenting Agar Anak Tak Lagi Pilah-pilih Makanan: Belajar dari Gaya VOC

26 Juli 2025   10:30 Diperbarui: 26 Juli 2025   10:22 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Waktu makan jadi momen akrab keluarga. (Ilustrasi: Gambar ini dihasilkan dengan bantuan AI). Sabtu, (26/7/2025)

Oleh: Harmoko

Sebagai orang tua generasi sandwich, saya sering bertanya-tanya, "Kenapa anak saya bisa hapal semua jenis dinosaurus, tapi sayur di piring malah dianggap fosil beracun?" Anak-anak zaman sekarang memang pintar, kritis, dan... pemilih---terutama soal makanan. Brokoli dianggap "rumput gunung", wortel "akar naga", dan ikan bakar "bau laut gagal move on". Semua ditolak, kecuali nugget dan kentang goreng.

Namun di tengah keputusasaan itu, saya tiba-tiba teringat satu nama besar dalam sejarah: VOC---Vereenigde Oostindische Compagnie, kongsi dagang Belanda yang pernah menguasai rempah-rempah Nusantara. Entah kenapa, saya terinspirasi. Kalau VOC bisa mengatur jalur niaga dari Banda ke Amsterdam, masa saya nggak bisa mengatur jalur makanan dari piring ke mulut anak?

Akhirnya saya mulai menyusun strategi parenting ala VOC. Bukan menjajah, tentu saja, tapi mengelola logistik, psikologi, dan diplomasi keluarga seperti kongsi dagang canggih. Percayalah, urusan makan anak itu bukan sekadar "makan", tapi pertempuran geopolitik skala mini. Dan kita, para orang tua, harus jadi diplomat ulung sekaligus pedagang rasa.

Kenapa Anak Pilah-pilih Makanan? Mari Merefleksi Dulu

Fenomena picky eater bukan cuma terjadi di rumah saya. Survei Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menunjukkan bahwa lebih dari 50% anak usia 1--5 tahun mengalami fase pilih-pilih makanan, entah karena tekstur, rasa, warna, atau alasan mistis: "nggak suka aja."

Menurut Stanford Children's Health, fase ini normal terjadi pada usia 2--6 tahun, dan dipengaruhi banyak hal: genetik, kebiasaan makan keluarga, serta suasana makan di rumah. Nah, sering kali kita sebagai orang tua justru menyiram api dengan bensin: memaksa makan, bukan mengenalkan rasa.

Padahal, seperti VOC membangun relasi dagang di tanah jajahan, anak juga butuh pendekatan penuh strategi dan kesabaran. Diplomasi rasa, bukan intimidasi sendok.

VOC: Dari Jalur Rempah ke Jalur Rasa

VOC berhasil menguasai perdagangan global bukan hanya karena senjata, tapi lewat strategi, konsistensi, dan kemampuan adaptasi budaya. Dari situlah saya menyusun taktik keluarga. Mari kita uraikan satu per satu.

1. Kenali Pasar: Apa yang Anak Suka, Bukan Sekadar Apa yang Sehat

VOC tak sembarang kirim barang ke Eropa. Mereka tahu pasar butuh lada, pala, cengkih. Begitu juga kita: sebelum menyodorkan sayur rebus, kenali dulu preferensi anak. Rasa, warna, bentuk---semua punya peran.

Anak saya benci bayam, tapi suka pizza. Maka saya buat "pizza bayam"---kulit tipis dengan saus tomat dan daun hijau tersembunyi. Apakah dia tahu? Tidak. Apakah dia lahap? Sangat. Itulah seni berdagang rasa.

2. Jalur Alternatif: Jangan Melulu di Meja Makan

VOC punya banyak pos dagang: dari Maluku hingga Kaapstad. Kita juga perlu tempat dan suasana makan yang bervariasi. Jangan melulu duduk formal di meja. Coba ngemil sehat saat anak bermain, atau piknik kecil di teras rumah.

Anak saya lebih mudah makan wortel saat nonton kartun. Bukan karena lapar, tapi suasana hatinya rileks. Ini disebut distracted exposure---pendekatan psikologis yang justru efektif di usia dini.

3. Hindari Monopoli: Libatkan Anak dalam Proses

VOC pernah terlalu percaya diri dengan monopoli rempah, dan itu jadi bumerang. Kita pun sering begitu---memutuskan menu sendiri tanpa melibatkan anak. Padahal, anak butuh rasa kontrol.

Ajak mereka ikut memilih bahan, cuci sayur, atau menghias makanan. Saat mereka merasa punya andil, proses makan berubah jadi pengalaman, bukan kewajiban. Seperti VOC membangun aliansi lokal untuk memperkuat jaringan dagang.

Makanan Bukan Cuma Nutrisi, Tapi Medium Cinta

Dalam setiap piring makanan, tersimpan pertarungan kecil antara harapan orang tua dan kenyamanan anak. Kita ingin mereka sehat, mereka ingin makan yang mereka suka. Titik temunya bukan pada sendok, tapi pada empati dan kreativitas.

Saya pernah kecewa karena anak menolak sup buatan saya. Tapi saya lupa---cinta bukan soal memberi yang kita anggap baik, tapi memberi dengan cara yang bisa diterima. Ketika saya membiarkan dia meracik topping sendiri, sup itu habis tak bersisa.

Trik Ala VOC untuk Dapur Rumah

Beberapa taktik dagang rasa yang terbukti efektif:

1. Nama seru: Ubah "sayur bayam" jadi "daun power up".

2. Plating lucu: Bentuk makanan jadi wajah panda atau bintang laut.

3. Rotasi menu: Jangan terus-menerus sayur bening, selingi dengan tumis atau dikukus.

4. "Komisi rasa": Hadiah kecil setelah mencoba makanan baru, seperti stiker atau pujian.

5. Masak bersama: Anak lebih terbuka kalau merasa ikut menciptakan.

Kunci utamanya? Bukan menyerah, tapi adaptif. Seperti VOC yang tak menyerah ketika diserang, kita pun bisa belajar untuk terus mencoba pendekatan baru.

Kata Orang Tua Lain: Pengalaman Mereka Tak Jauh Berbeda

Di grup WA wali murid SD anak saya, topik picky eater ini muncul hampir tiap minggu.

"Anakku cuma mau makan nasi dan keju. Aku pernah nangis di dapur karena semua lauk ditolak," kata seorang ibu.

"Aku pakai cara pura-pura jadi juri MasterChef. Dia yang nilai makanannya. Eh, malah lahap," cerita bapak lain sambil menyisipkan emoji tertawa.

Cerita-cerita itu menyadarkan saya: semua orang tua sedang berjuang di ladang yang sama, dengan peralatan berbeda.

Penutup: Kita Bukan Kolonialis, Tapi Bisa Belajar dari Mereka

Parenting ala VOC bukan soal menjajah, tapi soal mengelola emosi dan strategi dalam menghadapi anak. Kalau VOC bisa bikin sistem logistik rumit di abad ke-17, kita di era digital mestinya bisa bikin anak makan wortel---asal tahu caranya.

Makan bukan soal menang-kalah, tapi soal membangun momen bersama. Dalam setiap suapan yang masuk dengan sukarela, ada rasa percaya yang tumbuh. Dan kalau anakmu akhirnya makan brokoli karena kamu menyulapnya jadi "topi Hulk kecil"---itu bukan tipu daya, itu seni berdagang cinta.

Karena dalam dunia parenting, cinta itu bukan selalu soal memberi yang terbaik---tetapi memberi dengan cara yang bisa diterima anak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun