VOC tak sembarang kirim barang ke Eropa. Mereka tahu pasar butuh lada, pala, cengkih. Begitu juga kita: sebelum menyodorkan sayur rebus, kenali dulu preferensi anak. Rasa, warna, bentuk---semua punya peran.
Anak saya benci bayam, tapi suka pizza. Maka saya buat "pizza bayam"---kulit tipis dengan saus tomat dan daun hijau tersembunyi. Apakah dia tahu? Tidak. Apakah dia lahap? Sangat. Itulah seni berdagang rasa.
2. Jalur Alternatif: Jangan Melulu di Meja Makan
VOC punya banyak pos dagang: dari Maluku hingga Kaapstad. Kita juga perlu tempat dan suasana makan yang bervariasi. Jangan melulu duduk formal di meja. Coba ngemil sehat saat anak bermain, atau piknik kecil di teras rumah.
Anak saya lebih mudah makan wortel saat nonton kartun. Bukan karena lapar, tapi suasana hatinya rileks. Ini disebut distracted exposure---pendekatan psikologis yang justru efektif di usia dini.
3. Hindari Monopoli: Libatkan Anak dalam Proses
VOC pernah terlalu percaya diri dengan monopoli rempah, dan itu jadi bumerang. Kita pun sering begitu---memutuskan menu sendiri tanpa melibatkan anak. Padahal, anak butuh rasa kontrol.
Ajak mereka ikut memilih bahan, cuci sayur, atau menghias makanan. Saat mereka merasa punya andil, proses makan berubah jadi pengalaman, bukan kewajiban. Seperti VOC membangun aliansi lokal untuk memperkuat jaringan dagang.
Makanan Bukan Cuma Nutrisi, Tapi Medium Cinta
Dalam setiap piring makanan, tersimpan pertarungan kecil antara harapan orang tua dan kenyamanan anak. Kita ingin mereka sehat, mereka ingin makan yang mereka suka. Titik temunya bukan pada sendok, tapi pada empati dan kreativitas.
Saya pernah kecewa karena anak menolak sup buatan saya. Tapi saya lupa---cinta bukan soal memberi yang kita anggap baik, tapi memberi dengan cara yang bisa diterima. Ketika saya membiarkan dia meracik topping sendiri, sup itu habis tak bersisa.