Kutipan pembuka:
"PDKT itu seperti baca buku tanpa sinopsis. Menarik di awal, bikin penasaran, tapi kadang akhirnya cuma plot twist: dia cuma anggap kamu teman."Â - HarmokoÂ
Masa PDKT: Antara Deg-degan dan Delusi
Semua orang pernah PDKT. Entah yang manis kayak teh tarik hangat, absurd kayak obrolan tengah malam, atau yang pahitnya mirip kopi hitam dingin yang lupa dikadalin. Tapi satu benang merahnya jelas: banyak dari kita sering terlalu cepat baper atau geer di fase pendekatan.
Baru dibalas story Instagram pakai emoji senyum, sudah merencanakan nama anak. Baru diajak ngopi sekali, langsung merasa spesial. Tapi ujung-ujungnya... ghosting. Ditinggal tanpa kejelasan, hanya dengan jejak digital dan kenangan yang tak sempat jadi kenyataan.
Kenapa bisa begitu? Karena PDKT di era digital seperti menari dalam kabut---kita bergerak dengan harapan, tapi tak selalu tahu arah atau maksud lawan.
Sinyal Tak Selalu Tanda Cinta
Keramahan itu bukan kode. Tapi sayangnya, banyak dari kita yang menerjemahkan kebaikan sebagai sinyal perasaan. Apalagi kalau sedang merasa sendiri, sedikit perhatian saja bisa jadi candu. Dan candu itu bisa membuat kita geer secara kolektif.
Dalam banyak kasus, bukan karena kita tidak menarik. Tapi karena kita menaruh harapan di tempat yang belum tentu siap menampungnya.
PDKT jadi wilayah abu-abu antara kemungkinan dan asumsi. Kadang kita berlama-lama di sana, bukan karena nyaman, tapi karena takut kehilangan ilusi yang kita buat sendiri.