Lagi-lagi, ini bukan untuk memberi pembenaran, tetapi untuk membuka pintu pemahaman.
Dalam banyak hubungan, terutama yang tidak setara secara ekonomi, usia, atau status sosial, bisa terjadi relasi yang timpang.Â
Ketimpangan ini terkadang melahirkan rasa frustrasi atau kebutuhan untuk "mengambil kembali kendali"---dan perselingkuhan muncul sebagai bentuk pelampiasan kekuasaan yang keliru.
Bayangkan sebuah pasangan yang mengalami krisis karena perselingkuhan. Mereka langsung berpisah tanpa sempat menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi.Â
Pasangan yang tersakiti merasa "aman" karena telah menjauh dari pengkhianatan, sementara pelaku mungkin merasa lega karena tidak lagi memikul beban rahasia.Â
Tapi apakah luka itu benar-benar sembuh? Atau hanya tertutup sementara hingga kemudian berulang di hubungan berikutnya?
Memahami akar permasalahan memberikan dua keuntungan penting:
Pertama, membuka kemungkinan rekonsiliasi yang sehat (jika itu memang pilihan kedua belah pihak).
Kedua, menjadi pelajaran penting agar pola yang sama tidak terulang di masa depan, baik dalam hubungan yang sama maupun hubungan baru.
Mengatasi luka perselingkuhan membutuhkan lebih dari sekadar janji tidak mengulang.Â
Ia menuntut kerja sama dua orang dewasa yang sama-sama bersedia menempuh jalan sulit: terbuka, jujur, dan sabar.Â