Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kenapa Interview Kerja Jadi Mimpi Buruk Gen Z?

18 Juli 2025   06:57 Diperbarui: 18 Juli 2025   06:45 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wawancara kerja Gen Z: Tegang tapi penuh harapan./Ilustrasi Gambar dihasilkan dengan bantuan AI. Jumat, (18/7/2025)

"Silakan perkenalkan diri Anda..."

Kalimat yang tampak sederhana ini mendadak bisa mengeringkan tenggorokan, membuat jantung berdebar seperti habis minum lima gelas kopi, dan memaksa otak untuk menggali memori kuliah yang sudah tertimbun konten TikTok dan drama Korea. Selamat datang di dunia interview kerja---arena gladi mental yang bagi sebagian Gen Z terasa lebih menegangkan daripada nembak gebetan.

Tapi benarkah interview kerja sebegitu menakutkannya bagi Gen Z? Atau ada sesuatu yang lebih dalam yang membuat mereka terlihat canggung, gugup, bahkan trauma setelah sesi wawancara? Mari kita bedah satu per satu.

1. Dunia Kerja dan Dunia Digital: Dua Semesta Berbeda

Gen Z adalah generasi yang tumbuh dengan internet dalam genggaman. Mereka terbiasa berkomunikasi melalui emoji, stiker, dan caption singkat. Ketika harus beralih ke komunikasi formal---dengan struktur, tatap muka (baik langsung maupun daring), dan gaya bahasa yang berbeda---terjadi culture shock. Dunia interview mengharuskan Gen Z tampil percaya diri, artikulatif, dan profesional. Sayangnya, tidak semua dari mereka terbiasa dengan format komunikasi seperti ini.

Lebih jauh lagi, ekspektasi pewawancara sering kali masih berakar pada norma kerja generasi sebelumnya, terutama Baby Boomer atau Gen X. Maka tak jarang, ketika pewawancara bertanya, "Apa kelebihan Anda?" atau "Kenapa kami harus memilih Anda?", Gen Z terjebak antara ingin jujur ala medsos atau menyesuaikan diri agar tampak profesional. Dilema inilah yang membuat banyak dari mereka terlihat kaku dan tidak siap.

2. CV Sudah Menawan, Mental Masih Kegencet

Bukan berarti Gen Z tidak mampu. Banyak dari mereka memiliki portofolio yang mentereng---mereka bisa membuat konten viral, magang di tempat bergengsi, bahkan punya usaha kecil-kecilan sejak SMA. Namun, ketika memasuki ruang interview, ketakutan akan penilaian justru mendominasi.

Ini erat kaitannya dengan tekanan sosial yang mereka hadapi sejak dini. Di media sosial, semua orang terlihat sukses, punya kerja bagus, dan "happy life". Maka saat mereka duduk di kursi wawancara, muncul ketakutan: "Apa saya cukup layak?", "Apa saya akan gagal dan mengecewakan orang tua?"---pertanyaan yang menggerogoti kepercayaan diri.

3. Interview yang Terlalu Kaku: Seolah Tak Mengenal Zaman

Sebagian proses interview kerja belum sepenuhnya bertransformasi mengikuti perkembangan zaman. Pertanyaan-pertanyaan klise seperti "Ceritakan tentang diri Anda dalam 3 menit" atau "Apa yang Anda lakukan jika terjadi konflik di tim?" seringkali terdengar seperti soal ujian ketimbang pembuka diskusi dua arah. Padahal, Gen Z menyukai proses yang otentik dan humanis. Mereka ingin dilihat sebagai manusia, bukan hanya pelamar kerja.

Interview yang terlalu formal, penuh birokrasi, atau bahkan terlalu personal (misalnya bertanya soal status pernikahan atau rencana punya anak), bisa membuat mereka merasa terasing. Alih-alih menjadi momen mengenal perusahaan, interview malah jadi sesi interogasi tanpa empati.

4. Persiapan Minim, Bukan Karena Malas

Stereotip bahwa Gen Z malas mempersiapkan interview tidak sepenuhnya tepat. Banyak dari mereka justru kebingungan mencari referensi yang sesuai. Materi pelatihan karier di kampus pun sering kali belum relevan dengan dinamika industri yang cepat berubah.

Beberapa dari mereka bahkan mengandalkan video YouTube, konten TikTok, atau simulasi AI untuk berlatih interview. Sayangnya, tanpa bimbingan nyata dan feedback langsung, latihan tersebut kerap tak cukup melatih mental. Di hari H, tekanan yang dihadapi terasa terlalu nyata dibanding latihan yang mereka jalani.

5. Bahasa Tubuh: Antara Gugup dan Salah Paham

Bagi sebagian pewawancara, gestur gugup, kurang tatap mata, atau jeda dalam menjawab bisa dianggap sebagai tanda ketidaksiapan. Padahal bagi Gen Z, hal itu bisa muncul karena kecemasan sosial atau overthinking. Mereka takut salah bicara, takut over-confident, bahkan takut dianggap sok tahu jika menjawab terlalu cepat.

Ironisnya, niat mereka untuk hati-hati justru sering diartikan sebagai kurang kompeten. Maka terjadilah miskomunikasi antar generasi---di mana pewawancara mencari antusiasme dan spontanitas, sementara pelamar justru sibuk menjaga ekspresi agar tak salah langkah.

6. Dunia Kerja Tak Lagi Sekadar "Kerja"

Satu hal yang juga membuat interview terasa sulit bagi Gen Z adalah perubahan cara pandang terhadap pekerjaan. Bagi banyak dari mereka, kerja bukan hanya soal gaji dan jabatan, tetapi juga makna, fleksibilitas, dan keseimbangan hidup. Maka ketika pewawancara berkata, "Kami mencari yang siap lembur dan loyal," sebagian dari mereka justru mundur perlahan dalam hati.

Bukan karena manja, tapi karena mereka punya ekspektasi berbeda terhadap kehidupan. Mereka lebih tertarik pada perusahaan yang menjunjung nilai inklusif, transparan, dan menghargai waktu pribadi. Jika proses interview tidak mencerminkan nilai itu, maka hubungan kerja pun terasa seperti jebakan, bukan kesempatan.

7. Solusi? Adaptasi Dua Arah

Lantas siapa yang harus berubah? Jawabannya: kedua pihak. Gen Z perlu melatih kepercayaan diri, memperdalam pemahaman dunia kerja, dan belajar menyampaikan ide secara sistematis. Tapi di sisi lain, HRD juga perlu menyegarkan pendekatan mereka---lebih terbuka, adaptif, dan mengurangi pendekatan yang terlalu normatif.

Proses interview idealnya menjadi ruang saling mengenal, bukan sekadar uji kelayakan satu arah. Pewawancara yang baik tahu bahwa kandidat bukan hanya dinilai dari jawabannya, tetapi dari potensinya. Dan kandidat yang baik bukan hanya menjawab, tapi juga bertanya---tentang nilai perusahaan, budaya kerja, dan peluang pengembangan.

8. Interview yang Manusiawi: Investasi Jangka Panjang

Di era di mana employer branding sama pentingnya dengan produk, menciptakan pengalaman interview yang manusiawi adalah investasi. Sebuah studi dari Glassdoor menunjukkan bahwa pengalaman rekrutmen yang positif meningkatkan kemungkinan kandidat akan merekomendasikan perusahaan, bahkan jika mereka tak diterima.

Jadi bayangkan jika perusahaan punya reputasi sebagai tempat yang ramah Gen Z, proses interview yang tidak membuat stres, dan memberikan feedback setelahnya. Bukankah itu akan jadi magnet talenta muda?

9. Harapan Gen Z: Diberi Kesempatan, Bukan Dijatuhi Ekspektasi

Sebagian besar Gen Z bukan tidak siap kerja, mereka hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Mereka ingin ruang belajar, bimbingan yang membangun, dan kesempatan untuk gagal tanpa langsung dicap "tidak layak". Mereka tidak anti kritik, asal kritik itu tidak menjatuhkan.

Sebagai generasi yang akan menjadi tulang punggung produktivitas di 10 tahun mendatang, bukankah sudah waktunya memberi mereka kepercayaan lebih?

Penutup: Dari Mimpi Buruk Menjadi Momen Belajar

Interview kerja memang bisa jadi momok menakutkan bagi Gen Z. Tapi dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan adaptif, proses ini bisa berubah menjadi pengalaman berharga. Dunia kerja tak boleh hanya jadi arena kompetisi, tapi juga kolaborasi lintas generasi.

Sebagai penulis penuh tanya, saya hanya ingin mengajak kita semua berpikir:

Kalau wawancara saja sudah menakutkan, kapan kita bisa benar-benar bekerja sama?

Jika kamu Gen Z dan baru saja gagal interview, ingat: kamu bukan sendiri, dan bukan berarti kamu tak mampu. Dan jika kamu seorang HRD, mungkin ini saatnya mengganti pertanyaan "Kenapa kami harus menerima Anda?" dengan "Apa yang bisa kami bangun bersama?"

Palembang, 18 Juli 2025

Dokumentasi Pribadi 
Dokumentasi Pribadi 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun