7. Solusi? Adaptasi Dua Arah
Lantas siapa yang harus berubah? Jawabannya: kedua pihak. Gen Z perlu melatih kepercayaan diri, memperdalam pemahaman dunia kerja, dan belajar menyampaikan ide secara sistematis. Tapi di sisi lain, HRD juga perlu menyegarkan pendekatan mereka---lebih terbuka, adaptif, dan mengurangi pendekatan yang terlalu normatif.
Proses interview idealnya menjadi ruang saling mengenal, bukan sekadar uji kelayakan satu arah. Pewawancara yang baik tahu bahwa kandidat bukan hanya dinilai dari jawabannya, tetapi dari potensinya. Dan kandidat yang baik bukan hanya menjawab, tapi juga bertanya---tentang nilai perusahaan, budaya kerja, dan peluang pengembangan.
8. Interview yang Manusiawi: Investasi Jangka Panjang
Di era di mana employer branding sama pentingnya dengan produk, menciptakan pengalaman interview yang manusiawi adalah investasi. Sebuah studi dari Glassdoor menunjukkan bahwa pengalaman rekrutmen yang positif meningkatkan kemungkinan kandidat akan merekomendasikan perusahaan, bahkan jika mereka tak diterima.
Jadi bayangkan jika perusahaan punya reputasi sebagai tempat yang ramah Gen Z, proses interview yang tidak membuat stres, dan memberikan feedback setelahnya. Bukankah itu akan jadi magnet talenta muda?
9. Harapan Gen Z: Diberi Kesempatan, Bukan Dijatuhi Ekspektasi
Sebagian besar Gen Z bukan tidak siap kerja, mereka hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Mereka ingin ruang belajar, bimbingan yang membangun, dan kesempatan untuk gagal tanpa langsung dicap "tidak layak". Mereka tidak anti kritik, asal kritik itu tidak menjatuhkan.
Sebagai generasi yang akan menjadi tulang punggung produktivitas di 10 tahun mendatang, bukankah sudah waktunya memberi mereka kepercayaan lebih?
Penutup: Dari Mimpi Buruk Menjadi Momen Belajar
Interview kerja memang bisa jadi momok menakutkan bagi Gen Z. Tapi dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan adaptif, proses ini bisa berubah menjadi pengalaman berharga. Dunia kerja tak boleh hanya jadi arena kompetisi, tapi juga kolaborasi lintas generasi.