Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjadi HRD Idaman: Di Antara Idealita dan Realita Dunia Kerja

18 Juli 2025   05:56 Diperbarui: 18 Juli 2025   05:42 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
HRD di ruang kerja, fokus dan ramah./Ilustrasi Gambar dihasilkan dengan bantuan AI. Jumat, (18/7/2025)

"HRD yang baik itu ibarat wasit: tidak berpihak, tapi adil, dan tahu kapan meniup peluit---tanpa membuat pemain trauma."

- Penulis Penuh Tanya

Ekspektasi yang Melangit

Dalam banyak seminar motivasi atau konten di LinkedIn, HRD (Human Resources Development) kerap digambarkan sebagai sosok strategis: jembatan antara kepentingan manajemen dan kesejahteraan karyawan. Ia bukan sekadar penjaga absensi atau pemberi SP, tapi pemikir strategis, pendengar empatik, sekaligus partner bisnis.

Sayangnya, ketika realita mengetuk pintu, ekspektasi itu sering kali hanya jadi narasi cantik di slide PowerPoint.

Banyak pekerja, terutama Gen Z, menganggap HRD seharusnya:

1. Paham kesehatan mental karyawan.

2. Transparan dalam proses rekrutmen.

3. Menyediakan ruang diskusi tanpa intimidasi.

4. Menjadi pembela ketika ada ketidakadilan struktural di tempat kerja.

Namun di sisi lain, beberapa HRD sendiri merasa seperti "tali tambang di tarik ulur dua kapal". Mereka harus mengamankan kepentingan perusahaan, menjaga biaya efisien, namun tetap dipaksa tampil seperti pahlawan berkepala tiga yang bisa menangani konflik kerja, urusan legal, hingga drama pantry.

HRD, Jangan Cuma Jago Excel dan SP

Seorang karyawan pernah berkeluh kesah kepada saya, "Saya kena SP cuma gara-gara telat 15 menit. Tapi ketika saya mengeluh tentang beban kerja berlebihan, HRD bilang itu bagian dari loyalitas. Katanya kalau nggak kuat, ya cari kerja lain aja."

HRD idaman bukanlah yang bersenjata SP, tapi yang bisa membaca situasi. Telat kerja 15 menit bisa jadi pertanda burnout, bukan hanya soal ketidakdisiplinan. Perusahaan modern harus belajar membedakan mana pelanggaran kerja, mana sinyal distress dari pekerja yang terlalu lama menahan beban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun