"Dulu kami pakai kaleng biskuit buat nyimpen uang dagangan. Sekarang? Uang masuk ke rekening dalam hitungan detik."
--- Penulis Penuh Tanya
Pagi itu saya duduk di sebuah warung kopi kecil di pinggiran kota. Pemiliknya, Bu Sari, sedang sibuk mencatat pesanan dan sesekali membuka aplikasi biru di ponselnya. Bukan untuk scrolling TikTok, tapi untuk mengecek mutasi rekening bank digital.
"Udah nggak pakai dompet tebal-tebal lagi, Mas. Sekarang semua langsung masuk ke HP," katanya sambil tersenyum.
Saya tercengang. Di warung kecil yang tak punya mesin kasir, Bu Sari sudah menggunakan bank digital untuk transaksi, bayar bahan baku, bahkan membayar anak buahnya. Bukan bank besar dengan gedung tinggi dan satpam galak. Tapi aplikasi kecil yang ia pelajari dari anaknya yang baru lulus SMK.
Bank Tanpa Gedung, Tapi Beri Rasa Aman
Kisah Bu Sari bukan satu-satunya. Di pasar, di lapak kaki lima, bahkan tukang parkir di masjid, makin banyak yang pakai QRIS, transfer instan, atau menyebutkan "nomor rekeningnya ya, Mas." Mereka mungkin tak tahu istilah fintech, tapi mereka tahu satu hal: ini lebih cepat, praktis, dan aman.
Dulu, uang dipegang. Sekarang, uang diakses. Bank digital telah mengubah cara orang berinteraksi dengan uang---dan yang paling menarik: mereka yang dulu tak dianggap layak jadi nasabah bank, kini punya akun aktif dan produktif.
Tak Butuh Setoran Awal, Cukup Kepercayaan
Bank konvensional sering kali butuh banyak syarat: KTP, slip gaji, NPWP, bahkan setoran awal. Tapi bank digital berkata sebaliknya: "Kalau kamu punya ponsel dan niat baik, ayo daftar!"
Pendekatan ini mengubah wajah inklusivitas keuangan di Indonesia. Data OJK menyebutkan, sejak 2022 terjadi lonjakan signifikan pengguna rekening digital, terutama dari segmen pelajar, ibu rumah tangga, dan pekerja informal. Mereka dulunya tak masuk radar perbankan. Kini? Mereka bagian dari sistem.
Bank digital bukan hanya soal efisiensi. Ia adalah bentuk keadilan struktural dalam dunia finansial.
Uang Jadi Lebih "Kelihatan"
Satu hal yang diam-diam mengubah hidup banyak orang lewat bank digital: transparansi.
Dulu, banyak orang bingung, "Uangku ke mana ya?" karena semua serba tunai. Sekarang, cukup buka aplikasi, dan langsung tahu pengeluaran harian, bulanan, bahkan mana yang jebol gara-gara jajan online.
Beberapa bank digital seperti Jago, Jenius, atau blu bahkan memberi fitur "kantong" atau "goals" untuk mengelola uang berdasarkan tujuan.
Kita jadi lebih sadar bahwa uang bukan sekadar alat tukar, tapi alat untuk merancang masa depan. Ini bukan soal besar kecilnya saldo, tapi besar kecilnya kendali kita atas hidup.
Promo, Bunga, dan Bonus? Iya, Tapi Bukan Itu Intinya
Tentu saja banyak yang tergoda buka rekening karena ada promo, cashback, atau bunga 6%. Itu daya tarik awal. Tapi alasan orang bertahan memakai bank digital lebih dari itu:
- Tidak dipungut biaya transfer
- Bisa transaksi tengah malam
- Tidak perlu antre
- Bisa buka deposito dan investasi dalam satu aplikasi
Dengan kata lain: bank digital memberi pengalaman keuangan yang memanusiakan. Tak ada rasa takut ditanya-tanya. Tak ada rasa canggung soal pakaian saat ke kantor cabang. Semua setara, semua sejajar.
Siapa Bilang Bank Digital Cuma untuk Anak Muda?
Ini salah satu mitos yang sudah waktunya dibantah. Di desa tempat saya tinggal, bapak-bapak petani sudah bisa transfer ke supplier pupuk lewat Neo+ atau SeaBank. Ibu-ibu pengurus koperasi simpan-pinjam belajar mencatat iuran pakai fitur "kantong" di aplikasi Jago.
Generasi tua mungkin lebih lambat adaptasinya, tapi bukan berarti mereka tertinggal. Justru, mereka yang paling merasakan manfaat langsung dari kemudahan yang ditawarkan.
Bank digital bukan hanya milik Gen Z atau kaum urban. Ia milik semua yang mau belajar dan mencoba.
Penutup: Ketika Teknologi Mengerti Kehidupan Nyata
Bank digital mungkin tak punya bangunan megah. Tapi ia punya dampak riil di lapisan bawah masyarakat. Ia memotong birokrasi. Ia memberi rasa percaya diri bagi yang dulu malu buka rekening. Ia menciptakan ekosistem transaksi yang sehat, efisien, dan berjangkauan luas.
Dan bagi saya pribadi, melihat Bu Sari menabung untuk pendidikan anaknya lewat "kantong pendidikan" di bank digital adalah pengingat bahwa teknologi terbaik bukan yang paling canggih---tapi yang paling bisa dipakai oleh banyak orang untuk hidup lebih baik.
"Dulu kami menabung di celengan. Sekarang kami menabung dengan notifikasi."
--- Penulis Penuh Tanya
Palembang, 15 Juli 2025
Ditulis Oleh: Harmoko - Penulis Penuh TanyaÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI