Lebih penting lagi, kejadian ini seharusnya menyadarkan publik akan pentingnya pengawasan partisipatif. Kita tak boleh hanya terpesona dengan jargon pembangunan, tanpa menanyakan: untuk siapa, oleh siapa, dan bagaimana pelaksanaannya?
Kasus ini bukan yang pertama. Di banyak daerah, kita menyaksikan pola serupa: pasar digusur, pedagang tergusur, proyek mangkrak, dan pejabat terseret.Â
Semua atas nama kemajuan. Namun tak jarang, "kemajuan" itu ternyata hanya topeng dari ambisi pribadi dan kelompok elite.
Kita memerlukan paradigma baru dalam menilai pembangunan: bukan dari besar anggarannya, bukan dari megah gedungnya, tapi dari keberpihakan dan dampaknya bagi rakyat kecil.Â
Kalau tidak, kita hanya akan terus mengulang ironi: membangun fisik, tapi merobohkan nilai dan kepercayaan publik.
Pasar Cinde hari ini bukan sekadar bangunan mangkrak.Â
Ia adalah cermin: tentang kegagalan tata kelola, tentang bobroknya integritas birokrasi, dan tentang betapa rakyat kecil selalu jadi korban utama ambisi besar yang korup.
Publik berhak marah. Bukan hanya karena uang negara dikorupsi, tapi karena keadilan dirampas, dan sejarah kota dikorbankan.Â
Kini, yang dibutuhkan bukan sekadar penjara bagi pelaku, tapi perubahan sistemik: dari tata kelola anggaran, transparansi proyek publik, hingga pelibatan warga dalam pengambilan keputusan.
Jika tidak, kita hanya tinggal menghitung waktu sebelum ada "Pasar Cinde" lain di kota-kota lain.