Ironisnya, proyek yang digadang-gadang membawa kesejahteraan justru menorehkan jejak korupsi senilai hampir Rp1 triliun.
Di titik ini, publik pantas bertanya: siapa sebenarnya yang dilayani oleh proyek-proyek mercusuar seperti ini?
Kasus Pasar Cinde bukan korupsi eceran. Ia melibatkan aktor-aktor dengan posisi strategis.Â
Modusnya pun klasik: manipulasi kebijakan untuk keuntungan swasta.Â
Salah satu sorotan tajam adalah pemberian diskon 50% Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) kepada pengembang PT Magna Beatum.Â
Harnojoyo diduga memberi instruksi agar hanya Rp1,1 miliar yang dibayar dari seharusnya Rp2,2 miliar.
Mungkin bagi sebagian orang, angka ini terdengar kecil.Â
Tapi pengurangan sepihak atas kewajiban keuangan negara bukan sekadar "diskon," melainkan praktik penyimpangan kewenangan.Â
Ia menandai bahwa keputusan administratif yang seharusnya berbasis aturan bisa berubah menjadi alat negosiasi politik dan ekonomi di belakang layar.
Kasus ini juga memperlihatkan betapa mudahnya aktor-aktor kekuasaan memutarbalikkan narasi "pembangunan" menjadi kedok korupsi.Â
Apa yang semula dijual sebagai kebutuhan publik justru menjadi proyek elite, tanpa transparansi, akuntabilitas, dan kepedulian pada rakyat kecil yang terdampak.