Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah Rakyat: Cahaya di Ujung Lorong atau Sekadar Lampu Hias?

1 Juli 2025   16:15 Diperbarui: 1 Juli 2025   15:51 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Dokumentasi pribadi diolah dengan sistem generative AI 

"Kami cuma ingin anak kami bisa sekolah. Tapi siapa yang bantu di ladang kalau dia pergi?"

--- Ibu Murni, warga desa di lereng bukit.

Tanggal 1 Juli 2025 menjadi tonggak baru bagi pendidikan Indonesia. Pemerintah resmi meluncurkan program Sekolah Rakyat, sebuah upaya menyediakan pendidikan gratis dari tingkat SD hingga SMA untuk anak-anak dari keluarga miskin. Tak hanya bebas biaya, siswa juga mendapat seragam, buku, makan tiga kali sehari, bahkan asrama.

Di atas kertas, ini adalah mimpi yang jadi nyata.

Namun, kenyataan di lapangan sering kali jauh lebih rumit dari selebaran pengumuman.

Sekolah Gratis, Tapi Tak Semudah Itu

Saya ingat perbincangan dengan Ibu Murni, seorang petani di desa terpencil di kawasan Nusa Tenggara Timur. Ia memiliki dua anak, dan sang sulung, Beni, baru lulus SD. Ketika ditawari masuk Sekolah Rakyat yang jaraknya 25 km dari rumah, responsnya tidak seantusias yang dibayangkan pemerintah.

"Kalau Beni ikut program itu dan tinggal di asrama, siapa yang bantu bapaknya di kebun? Lagipula, kami belum pernah lihat sekolahnya. Aman nggak? Siapa guru-gurunya?"

Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin terdengar kecil bagi pejabat di pusat. Tapi bagi keluarga seperti mereka, itu adalah pertimbangan hidup. Pendidikan bukan sekadar soal biaya---tetapi juga soal kepercayaan, logistik, dan realitas keseharian.

Antara Visi Nasional dan Kekosongan Sosialisasi

Sekolah Rakyat adalah gagasan mulia. Ia hadir di tengah krisis pendidikan yang terus membelit Indonesia, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Tapi visi tanpa sosialisasi adalah mimpi yang tak pernah bangun.

Banyak warga desa belum tahu detail program ini. Mereka hanya mendengar "gratis" tapi tak paham sistem seleksinya, mekanisme asrama, hingga jaminan keamanan anak. Di beberapa daerah, tak ada pertemuan warga atau penyuluhan dari dinas pendidikan. Yang ada hanya surat tempel di papan pengumuman balai desa.

Padahal, kalau negara ingin warga percaya, maka hadirnya program harus disertai pendampingan emosional dan informatif. Bukan sekadar peluncuran megah di media sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun