Kelahiran anak pertama sering disebut sebagai momen paling sakral dalam pernikahan. Tapi, di balik air mata haru dan tangisan bayi, ada juga angka-angka baru yang mulai menari-nari: biaya persalinan, imunisasi, popok, susu, hingga rencana pendidikan jangka panjang.
Dalam fase ini, keuangan rumah tangga tak lagi sekadar urusan berdua. Kini ada makhluk mungil yang jadi pusat dunia, sekaligus titik balik dalam cara pasangan mengelola uang. Refleksi saya: punya anak bukan hanya tentang kesiapan mental, tapi juga kedewasaan finansial.
---
Kebutuhan Bayi = Kebutuhan Tetap + Tambahan Rutin
Dulu mungkin cukup belanja mingguan dan bayar tagihan. Sekarang? Tambah pos pengeluaran: vitamin ibu, kontrol dokter anak, baju bayi yang cepat kekecilan, dan stok tisu basah yang entah kenapa selalu habis lebih cepat dari nasi.
Banyak pasangan baru kaget karena menganggap bayi itu "kecil", padahal kebutuhannya besar dan seringkali mendesak. Inilah mengapa pos pengeluaran harus disusun ulang secara realistis sejak kehamilan trimester awal.
---
Dana Darurat Bukan Lagi Pilihan, Tapi Keharusan
Kalau dulu dana darurat dipakai untuk hal ekstrem, sekarang jadi tameng utama dari hal-hal sepele tapi mahal: bayi demam tengah malam, susu habis di hari libur, atau imunisasi yang tak ditanggung BPJS. Saya menyaksikan tetangga saya harus pinjam sana-sini karena si kecil dirawat inap, sementara dana darurat belum sempat disiapkan.
Idealnya, dana darurat rumah tangga pasutri dengan anak minimal 6 kali pengeluaran bulanan. Dan itu sebaiknya disiapkan bukan saat anak lahir, tapi jauh sebelum kontraksi pertama.