Prolog: Kompas dan Kompasku
Jika ada satu benda yang tetap relevan di era kompas analog hingga kompas digital, maka jawabannya adalah... ya, Kompas itu sendiri. Surat kabar ini bukan sekadar media, tapi penunjuk arah: bagi publik, jurnalis, bahkan negara. Di tengah pusaran informasi yang makin gaduh, Kompas tetap berdiri tegak, seperti mercusuar yang enggan padam meski badai digital menggulung seantero samudra media.
Namun, pertanyaannya: bagaimana Kompas bisa bertahan selama 60 tahun, sementara banyak media lain bahkan tidak mampu melewati usia 20? Mari kita berefleksi, tidak sekadar untuk mengagumi, tetapi untuk memahami mengapa warisan ini layak dirawat bersama.
---
Menjadi Kompas: Sebuah Nama, Sebuah Prinsip
Kompas berdiri pada 28 Juni 1965. Bukan tahun yang mudah bagi bangsa Indonesia. Kita tahu gejolak politik menjelang 1965 menuntut semua lini, termasuk pers, memilih: menjadi alat propaganda atau menjadi pelita. Jakob Oetama dan P.K. Ojong memilih menjadi yang kedua.
Nama "Kompas" dipilih bukan tanpa makna. Ia adalah simbol---penunjuk arah. Filosofinya sederhana tapi radikal: media tidak boleh tersesat dalam kekuasaan atau kepentingan, melainkan tetap menuntun pembacanya pada nilai-nilai kemanusiaan, kejujuran, dan nalar sehat.
Ini bukan sekadar retorika. Dalam praktiknya, Kompas kerap menahan diri untuk tidak menjadi media partisan, bahkan di saat-saat ketika tekanan politik begitu besar. Di era Orde Baru, Kompas kerap diberi label "aman tapi kritis"---karena meski tidak frontal, isinya sering kali menggigit bagi yang peka.
---
Jurnalisme Mencerahkan: Sebuah Tanggung Jawab Sosial