Mohon tunggu...
Harmoko
Harmoko Mohon Tunggu... Penulis Penuh Tanya

"Menulis untuk menggugah, bukan menggurui. Bertanya agar kita tak berhenti berpikir."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Enam Dekade Kompas: Menjaga Mahkota Jurnalisme di Tengah Badai Informasi

29 Juni 2025   20:02 Diperbarui: 29 Juni 2025   20:02 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Tangkapan Layar via Kompas.id

Prolog: Kompas dan Kompasku

Jika ada satu benda yang tetap relevan di era kompas analog hingga kompas digital, maka jawabannya adalah... ya, Kompas itu sendiri. Surat kabar ini bukan sekadar media, tapi penunjuk arah: bagi publik, jurnalis, bahkan negara. Di tengah pusaran informasi yang makin gaduh, Kompas tetap berdiri tegak, seperti mercusuar yang enggan padam meski badai digital menggulung seantero samudra media.

Namun, pertanyaannya: bagaimana Kompas bisa bertahan selama 60 tahun, sementara banyak media lain bahkan tidak mampu melewati usia 20? Mari kita berefleksi, tidak sekadar untuk mengagumi, tetapi untuk memahami mengapa warisan ini layak dirawat bersama.

---

Menjadi Kompas: Sebuah Nama, Sebuah Prinsip

Kompas berdiri pada 28 Juni 1965. Bukan tahun yang mudah bagi bangsa Indonesia. Kita tahu gejolak politik menjelang 1965 menuntut semua lini, termasuk pers, memilih: menjadi alat propaganda atau menjadi pelita. Jakob Oetama dan P.K. Ojong memilih menjadi yang kedua.

Nama "Kompas" dipilih bukan tanpa makna. Ia adalah simbol---penunjuk arah. Filosofinya sederhana tapi radikal: media tidak boleh tersesat dalam kekuasaan atau kepentingan, melainkan tetap menuntun pembacanya pada nilai-nilai kemanusiaan, kejujuran, dan nalar sehat.

Ini bukan sekadar retorika. Dalam praktiknya, Kompas kerap menahan diri untuk tidak menjadi media partisan, bahkan di saat-saat ketika tekanan politik begitu besar. Di era Orde Baru, Kompas kerap diberi label "aman tapi kritis"---karena meski tidak frontal, isinya sering kali menggigit bagi yang peka.

---

Jurnalisme Mencerahkan: Sebuah Tanggung Jawab Sosial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun