Apa yang membedakan berita dan jurnalisme?
Berita bisa berasal dari mana saja: status WhatsApp tetangga, thread X yang viral, atau obrolan warung kopi yang dibumbui sedikit drama. Tapi jurnalisme adalah proses. Ada verifikasi. Ada konteks. Ada tanggung jawab moral.
Kompas, selama enam dekade, berupaya konsisten menjalankan jurnalisme jenis kedua itu. Ia tidak berlomba menjadi yang tercepat, tapi berusaha menjadi yang paling tepat. Dalam dunia yang dilanda infodemik---di mana hoaks menyamar jadi fakta dan opini jadi kebenaran---posisi ini seperti berdiri di tengah jalan tol informasi sambil melambai-lambai membawa rambu: "Pelan dulu, mari berpikir."
Refleksi ini penting. Sebab saat algoritma media sosial lebih menyukai yang heboh daripada yang benar, Kompas tetap memelihara gaya bertutur yang tenang, dalam, dan faktual. Seperti seorang kakek bijak yang tidak tergesa-gesa, tapi kalau sudah bicara, semua diam dan mendengarkan.
---
Menjaga Netralitas: Kemewahan di Zaman Polarisasi
Netralitas bukan berarti tidak punya sikap. Dalam konteks Kompas, netralitas adalah keberpihakan pada nalar, bukan pada narasi; pada publik, bukan pada partai.
Kompas tak pernah secara eksplisit memihak kubu politik tertentu, bahkan ketika tekanan datang dari segala arah. Ia mungkin dikritik terlalu halus dalam mengkritik pemerintah, atau terlalu kalem dalam menyikapi isu-isu besar. Tapi sesungguhnya, itulah pendekatan Kompas: mengkritik dengan data, menyindir dengan elegan.
Di zaman sekarang, netralitas ini jadi kemewahan langka. Banyak media tergoda menjadi buzzer terselubung, atau malah terang-terangan jadi corong kekuasaan. Di tengah peta ini, Kompas tampak seperti pulau damai yang masih menjaga prinsip jurnalisme ideal: memberi suara pada mereka yang dibungkam, memberi terang pada yang disembunyikan.
---
Transformasi Digital: Bukan Sekadar Pindah Medium