Kompas telah memulai adaptasi: dari menyajikan berita dalam format multimedia, hingga membuka kanal-kanal diskusi lintas platform. Bahkan kini, Kompas Muda dan berbagai program edukatif lainnya menjadi jembatan antara institusi jurnalisme tua dan generasi muda yang haus ekspresi.
Kompas juga menghadapi tantangan baru berupa kecerdasan buatan. Di tengah ancaman konten deepfake dan manipulasi digital, peran media terpercaya makin penting. Di saat semua bisa memproduksi "berita", siapa yang akan memverifikasi? Kompas harus tetap menjadi gatekeeper, bukan sekadar content creator.
---
Menjaga Mahkota: Tugas Semua Pihak
Kompas adalah mahkota jurnalisme Indonesia. Tapi mahkota tidak akan bersinar kalau ditinggalkan. Di sinilah peran kita, pembaca, publik, dan bahkan pemerintah.
Pertama, publik perlu mendukung media berkualitas---dengan langganan, membagikan konten bernilai, atau sekadar membaca dengan penuh perhatian. Kedua, institusi pendidikan harus menjadikan media seperti Kompas sebagai bahan ajar literasi informasi. Ketiga, pemerintah harus menciptakan ekosistem yang melindungi kebebasan pers tanpa mengintervensi independensinya.
Media seperti Kompas tidak bisa berdiri sendiri. Ia memerlukan pembaca yang cerdas, pembuat kebijakan yang adil, dan jurnalis yang berintegritas. Ini bukan tugas satu redaksi---ini tugas satu bangsa.
---
Epilog: Saatnya Kita Berkaca
Kompas telah berjalan enam dekade---usia yang tidak pendek dalam dunia pers. Tapi usianya bukan sekadar angka, melainkan rekam jejak yang layak direnungi.
Di tengah tsunami informasi yang menggoda kita untuk memilih yang cepat daripada yang tepat, Kompas memilih menjadi kompas: pelan, tapi pasti; tenang, tapi jernih. Di saat algoritma menggiring kita pada polarisasi, Kompas tetap menjadi penyejuk ruang diskusi publik.