Ibu Lilis, di perumahan lain di Serang, bercerita bahwa listrik awalnya hanya ada satu meteran untuk sepuluh rumah. "Malam-malam kami harus gantian pakai rice cooker," katanya sambil tertawa getir.
Bahkan ada warga yang membangun jembatan darurat dari kayu untuk menyeberangi parit karena jalan yang dijanjikan belum juga dibangun. Ironisnya, mereka sudah membayar cicilan tepat waktu---sementara jalan menuju rumahnya tetap macet di tahap "nanti".
Akar Masalah: Siapa yang Harusnya Bertanggung Jawab?
Permasalahan ini bukan sekadar soal teknis, tapi juga soal koordinasi dan tanggung jawab. Dalam banyak kasus, pengembang hanya fokus pada pembangunan rumah sesuai kuota dan tenggat waktu yang ditentukan. Infrastruktur pendukung---jalan, drainase, air bersih---dianggap "urusan pemerintah daerah".
Sementara itu, pemerintah daerah sering berdalih belum menerima serah terima kawasan dari pengembang, sehingga belum punya wewenang melakukan pembangunan. Warga pun terjebak dalam pusaran "saling lempar tanggung jawab", sementara lumpur tetap menggenangi jalan setiap hujan turun.
Lalu, siapa yang salah? Jawabannya bisa panjang. Tapi satu hal jelas: yang dirugikan selalu warga.
Membangun Rumah Bukan Cuma Soal Dinding dan Atap
Kita perlu mengubah cara pandang terhadap rumah subsidi. Rumah bukan sekadar bangunan 36 meter persegi dengan sertifikat SHM. Rumah adalah bagian dari kawasan hidup. Tanpa akses jalan, air bersih, dan penerangan, rumah hanya jadi simbol formal kepemilikan, bukan tempat tinggal yang layak.
Membangun rumah tanpa membangun kawasan sama saja dengan memberikan perahu tanpa dayung: terlihat menjanjikan, tapi tak membawa ke mana-mana.
Untuk itu, perlu ada reformasi dalam cara kita mengelola proyek rumah subsidi, antara lain:
Standar Minimum Kawasan: Pemerintah bisa menetapkan bahwa sebelum rumah dijual, jalan utama dan fasilitas dasar harus sudah tersedia dan bisa digunakan.