Bayangkan pulang kerja dengan tubuh penat, dan yang menyambut kita adalah rumah seukuran garasi mobil---18 meter persegi.Â
Mungkin cukup untuk kasur, dapur mungil, dan harapan yang diremas-remas.Â
Itulah gambaran dari kebijakan baru Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) yang menegaskan rumah subsidi mini akan dibangun di kawasan perkotaan.Â
Pertanyaannya: benarkah ini jawaban atas masalah hunian di kota?
Refleksi: Ketika Mimpi Dipangkas Ukuran
Masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tentu menyambut baik hadirnya rumah subsidi.Â
Namun, apakah rumah 18 meter persegi bisa disebut "layak huni"? Standar minimal hunian oleh WHO adalah 9 meter persegi per orang.Â
Artinya, rumah 18 meter persegi hanya cukup untuk dua orang dewasa, tanpa anak, tanpa privasi.Â
Jadi kalau punya bayi? Atau mertua datang menginap? Selamat menari di ruang sempit!
Tentu kita bisa berargumen bahwa lebih baik punya rumah kecil daripada tidak punya sama sekali. Tapi kita juga tak boleh menormalisasi keterbatasan sebagai keniscayaan.Â
Ketika rumah jadi sekadar tempat tidur dan bukan ruang hidup yang layak, kita sedang bermain-main dengan definisi "sejahtera."
Perkotaan: Solusi Akses atau Perangkap Baru?
Pembangunan rumah subsidi di perkotaan tampaknya menjawab masalah klasik: akses pekerjaan dan transportasi. Ini patut diapresiasi.Â
Daripada memaksa masyarakat tinggal di pinggiran yang jauh dari sumber ekonomi, mending diberi opsi tinggal di kota.
Namun di balik solusi ini, terselip potensi jebakan. Rumah supermini bisa menambah kepadatan, memperparah kemacetan, dan menambah beban infrastruktur kota.Â
Tanpa perencanaan matang, kita justru menciptakan kantong-kantong kemiskinan baru yang terselubung rapi di balik label "subsidi."
Layak Huni: Sekadar Tempat Berteduh atau Ruang Berkembang?
Perumahan bukan sekadar atap dan tembok. Ia adalah ruang tumbuh, tempat anak belajar, keluarga berkumpul, dan manusia bermimpi.Â
Kalau rumah terlalu kecil untuk meletakkan buku, bagaimana anak bisa tumbuh dengan literasi?Â
Kalau tidak ada ruang duduk, bagaimana bisa ada ruang berdialog antarkeluarga?
Kita tidak sedang bicara soal mewah---kita bicara soal martabat. Dan martabat manusia tidak seharusnya dikompromikan hanya demi kejar target angka pembangunan.
Alternatif: Perumahan Vertikal dan Inovasi Sosial
Mungkin sudah waktunya pemerintah benar-benar serius mengembangkan konsep rumah susun (rusun) terintegrasi yang nyaman dan terjangkau.Â
Bukannya asal bangun lalu ditinggal. Pembangunan perumahan vertikal harus dibarengi dengan fasilitas sosial, ruang terbuka hijau, dan akses publik yang layak.
Atau mengapa tidak mencoba skema sewa-milik jangka panjang?Â
Banyak negara menerapkan sistem seperti ini, di mana warga tidak harus langsung memiliki, tapi bisa tinggal layak sembari mencicil secara rasional.
Penutup: Jangan Biarkan Ukuran Mengerdilkan Harapan
Kebijakan rumah subsidi 18 meter persegi di perkotaan bisa jadi adalah langkah strategis dalam keterbatasan.Â
Tapi kita perlu hati-hati agar tidak menjadikannya standar baru yang justru mengerdilkan harapan masyarakat.
Bangsa yang besar bukan hanya membangun rumah, tapi membangun mimpi.Â
Dan mimpi tak akan muat dalam 18 meter persegi jika kita berhenti bertanya: apakah ini cukup layak untuk hidup manusia seutuhnya?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI