Rumah dan Martabat
Teman saya teringat masa kecil di rumah petak berdinding triplek. Satu kamar, satu dapur mungil, dan langit-langit yang dihuni cicak dan kelelawar. Ketika orang tuanya akhirnya bisa pindah ke rumah subsidi, mereka bahagia luar biasa. Tapi tidak lama, atap mulai bocor, dinding mulai retak, dan akses jalan berubah jadi kubangan jika hujan datang.
Dari sana dia sadar: rumah bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah simbol martabat. Ketika negara menyediakan rumah, seharusnya itu bukan sekadar proyek kuantitatif, tapi juga ekspresi kepedulian terhadap kualitas hidup warganya.
Rumah Subsidi yang Ideal: Harapan yang Masuk Akal
Lantas, seperti apa rumah subsidi idaman itu?
1. Struktur bangunan yang layak dan tahan lama -- bukan yang harus direnovasi dua bulan setelah akad.
2. Lokasi terjangkau dan terkoneksi -- rumah bukan tempat pengasingan.
3. Legalitas jelas dan aman -- jangan ada drama tanah sengketa atau surat menyurat tak selesai.
4. Lingkungan sehat dan aman -- tersedia ruang terbuka, drainase, penerangan, dan pengelolaan sampah yang memadai.
Itu semua bukan mimpi tinggi. Itu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi jika kita masih percaya bahwa rakyat berhak hidup layak.
Jangan Subsidi Harapan