Ketika Gen Z dituduh manja, kurang tahan banting, atau terlalu pemilih dalam mencari kerja, mungkin sudah saatnya kita balik cermin. Benarkah mereka yang gagal beradaptasi---atau justru sistem rekrutmen kita yang sudah lama kehabisan napas?
Interview: Ajang Penilaian atau Ajang Pencitraan?
Mari jujur. Banyak proses interview hari ini lebih mirip audisi stand-up comedy ketimbang evaluasi profesional. Kandidat dituntut tampil percaya diri, artikulatif, bahkan karismatik---seakan-akan nilai kerja itu bisa diukur dari seberapa lebar senyum saat menjawab pertanyaan klise: "Apa kelebihan dan kekurangan Anda?"
Bagi Gen Z yang tumbuh dalam budaya digital---yang lebih spontan, reflektif, dan sering mengandalkan tulisan ketimbang lisan---format seperti ini terasa seperti jebakan. Mereka lebih nyaman mengutarakan ide dalam bentuk konten, proyek digital, atau kerja nyata---bukan basa-basi 30 menit yang lebih menguji kepribadian ketimbang kompetensi.
Generasi Baru, Paradigma Lama
Banyak perusahaan masih mengusung paradigma "senioritas = kredibilitas". Padahal Gen Z datang dengan pendekatan flat, kolaboratif, dan berbasis nilai. Mereka tak silau pada jabatan, tapi respek pada kepemimpinan yang otentik.
Ketika HRD masih menyusun pertanyaan dari template tahun 2002, Gen Z sudah belajar AI, desain UI, atau bangun komunitas sosial di TikTok. Mereka bukan tak punya nilai, mereka hanya bergerak di medan yang belum dikenali HRD zaman batu.
Saatnya Rekrutmen Direvolusi
Bagaimana kalau proses rekrutmen tak lagi berpusat pada "siapa yang paling jago bicara", tapi pada "siapa yang paling relevan kontribusinya"?
Platform portofolio digital, case study based hiring, atau collaborative task challenge seharusnya mulai menggantikan pola-pola lama. Interview bukan lagi sekadar tanya-jawab, tapi simulasi nyata dunia kerja---yang memungkinkan Gen Z menunjukkan apa yang mereka bisa, bukan sekadar menghafal jawaban sempurna dari internet.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!