Kehidupan kerja modern sering kali terasa seperti berada dalam reality show tanpa akhir, di mana kita terus-menerus diminta untuk "berkontribusi lebih" sambil tersenyum dan tetap profesional.Â
Sayangnya, banyak dari kita akhirnya kehabisan energi---bukan karena kurang kopi, tetapi karena terlalu lama mengabaikan batas diri sendiri.Â
Fenomena ini disebut burnout, sebuah kondisi kelelahan fisik dan mental akibat tekanan pekerjaan berkepanjangan yang tidak ditangani dengan tepat.
Burnout bukan sekadar "capek biasa."Â
Ia lebih mirip seperti WiFi kantor yang tiba-tiba mati pas kita lagi Zoom meeting dengan bos besar---mengganggu, bikin frustrasi, dan kadang bikin kita pengin lompat ke dunia lain (atau minimal ke hutan tanpa sinyal).Â
Untungnya, artikel Kompas Lifestyle baru-baru ini menghadirkan tips jitu dari psikolog Shafira Fawzia untuk menghadapi burnout akibat lingkungan kerja yang toksik dan tak kenal waktu.Â
Mari kita bedah satu per satu dengan gaya santai namun reflektif.
Salah satu akar dari burnout adalah mengejar definisi sukses yang bukan milik kita.Â
Dunia kerja hari ini dipenuhi dengan standar kesuksesan yang ditentukan oleh lingkungan: promosi secepat kilat, harus punya gelar tambahan, atau jadi employee of the month yang kerja sampai tengah malam sambil bawa kerjaan ke rumah.Â
Tapi apakah semua itu benar-benar mencerminkan nilai dan keinginan pribadi?