Dalam dunia yang semakin kompetitif dan serba cepat, produktivitas sering kali dijadikan tolok ukur utama keberhasilan seseorang.Â
Kesibukan dirayakan, istirahat dianggap sebagai kelemahan, dan kerja tanpa henti dipuji sebagai bentuk dedikasi.Â
Tak heran, muncul fenomena yang dikenal sebagai toxic productivity---sebuah kondisi ketika dorongan untuk terus produktif justru menjadi racun bagi kesehatan mental dan fisik.
Istilah toxic productivity merujuk pada kecenderungan untuk merasa bersalah ketika tidak sedang bekerja atau berkegiatan yang dianggap "produktif".Â
Mereka yang mengalami kondisi ini akan merasa nyaman hanya jika sedang sibuk, dan merasa gelisah atau tidak berguna saat beristirahat.Â
Padahal, seperti dijelaskan psikolog klinis Tara de Thouars, dorongan yang berlebihan ini justru menurunkan produktivitas secara keseluruhan.
"Justru, semakin kita stres, produktivitas itu malah semakin menurun," ujar Tara dalam acara Patchtastic Day 2025 yang digelar di Dia.lo.gue, Jakarta Selatan pada 22 Mei 2025.
Penting untuk membedakan antara produktivitas yang sehat dan produktivitas yang toksik.Â
Produktif yang sehat ditandai dengan efisiensi, manajemen waktu yang baik, dan kemampuan menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.Â
Di sisi lain, toxic productivity membuat seseorang terus-menerus merasa tidak puas, cemas jika tidak bekerja, dan cenderung mengabaikan kebutuhan dasar seperti tidur, makan, atau waktu bersama keluarga.