Banyak orang merasa tertekan untuk tampil sibuk, bahkan di luar jam kerja. Waktu luang sering kali diisi dengan aktivitas "bermanfaat" semata-mata agar tidak merasa bersalah.Â
Fenomena ini semakin diperparah dengan algoritma media sosial yang menampilkan gaya hidup produktif sebagai standar kebahagiaan dan keberhasilan.
Tara menekankan bahwa istirahat bukanlah bentuk kemalasan, melainkan bagian penting dari siklus produktivitas.Â
Saat tubuh dan pikiran diberi kesempatan untuk pulih, kita akan kembali bekerja dengan energi dan fokus yang lebih baik.
"Segala sesuatu yang berlebihan dan ekstrem pasti ujung-ujungnya berdampak ke kesehatan mental," katanya.
Dengan beristirahat secara berkala, stres bisa dikendalikan, kreativitas meningkat, dan relasi sosial menjadi lebih sehat.Â
Hal ini tentu berdampak positif terhadap performa kerja maupun kualitas hidup secara keseluruhan.
Menghadapi toxic productivity membutuhkan perubahan cara pandang. Produktivitas sejati bukan soal durasi kerja, melainkan soal efektivitas dan keseimbangan.Â
Kita perlu merevisi narasi sosial yang mengagungkan kelelahan dan mulai mengedepankan keberlanjutan.
Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
Sadari tanda-tanda toxic productivity, seperti rasa bersalah saat tidak bekerja, atau terus merasa kurang meski sudah berusaha maksimal.