Semua nilai itu bisa dan seharusnya dipraktikkan kembali dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam pandangan Menteri Nasaruddin, ibadah haji memiliki dimensi sosial yang sangat kuat.Â
Jamaah haji dari seluruh penjuru dunia berkumpul di satu tempat dengan kesamaan tujuan, pakaian, dan doa.Â
Semua perbedaan status sosial, ekonomi, ras, dan kebangsaan ditanggalkan demi satu tujuan suci: mengabdi kepada Allah SWT.
"Kesetaraan dan persaudaraan yang tercipta selama haji adalah modal sosial yang luar biasa. Ini bisa kita bawa pulang dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Di tengah tantangan global dan domestik seperti kemiskinan, intoleransi, dan polarisasi, semangat ukhuwah yang lahir dari haji menjadi sangat relevan," katanya.
Beliau juga menyoroti pentingnya semangat berbagi yang ditanamkan selama haji, terutama melalui ibadah kurban.Â
Menurutnya, semangat berbagi ini bisa menjadi solusi konkret terhadap masalah ketimpangan sosial di masyarakat.Â
Bila umat Muslim yang telah berhaji mampu menginternalisasi semangat tersebut dalam kehidupan sehari-hari, maka dampaknya akan sangat besar dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan berperikemanusiaan.
Menteri Nasaruddin tidak lupa menegaskan bahwa cinta Tanah Air merupakan bagian dari iman.Â
Dalam konteks Indonesia, semangat keislaman tidak boleh bertentangan dengan semangat kebangsaan. Justru keduanya harus berjalan beriringan dan saling menguatkan.
"Haji membentuk pribadi yang disiplin, tangguh, dan punya orientasi akhirat. Namun di saat yang sama, pribadi tersebut juga harus menjadi warga negara yang baik, yang peduli terhadap kemajuan bangsanya. Nasionalisme bukan hanya tentang mencintai tanah kelahiran, tapi juga tentang kesediaan berkorban untuk kebaikan bersama," tegasnya.