Di tengah arus digitalisasi yang kian pesat, fitur belanja sekarang, bayar belakangan atau paylater menjelma menjadi gaya konsumsi baru yang menjangkau kalangan milenial dan Gen Z.Â
Layanan ini tak lagi menjadi sekadar alat pembayaran alternatif, melainkan simbol gaya hidup urban yang mengedepankan kenyamanan instan.Â
Namun di balik kemudahan transaksi dan tampilan menggoda di platform e-commerce, tersembunyi risiko keuangan yang tidak dapat diabaikan.Â
Jika tidak dikelola dengan bijak, kemudahan ini justru bisa menyeret penggunanya---terutama generasi muda---ke dalam jerat utang konsumtif.
Fenomena Paylater: Kemudahan yang Menggoda
Paylater kini hadir di berbagai aplikasi populer seperti Tokopedia, Shopee, Gojek, Traveloka, hingga TikTok Shop.Â
Tawaran limit kredit hanya bermodal KTP dan verifikasi singkat membuat siapa pun dapat langsung membeli barang impian tanpa perlu menunggu gajian.Â
Bagi kalangan muda yang hidup dalam budaya instan dan fear of missing out (FOMO), kemudahan ini terasa begitu memikat.
Promosi cicilan 0%, cashback, dan program flash sale menjadi kombinasi ampuh yang menggiring pengguna untuk melakukan pembelian impulsif.Â
Alhasil, banyak dari mereka membeli barang bukan karena kebutuhan mendesak, melainkan karena kemudahan mencicil.Â
Perilaku konsumsi semacam ini diperparah dengan kurangnya pemahaman tentang manajemen keuangan pribadi.
Data dari Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia berada pada angka 49,68%.Â
Artinya, lebih dari separuh penduduk belum memiliki pemahaman finansial yang memadai.Â
Di sisi lain, data OJK per Maret 2025 mencatat bahwa pengguna paylater di Indonesia telah menembus angka 18 juta akun aktif, dengan mayoritas pengguna berusia 20 hingga 35 tahun.
Generasi Muda dan Perubahan Pola Konsumsi
Layanan paylater mencerminkan pergeseran pola konsumsi generasi muda dari paradigma saving-oriented menjadi spending-oriented.Â
Jika generasi sebelumnya lebih berhati-hati dalam membelanjakan uang dan mengutamakan tabungan, generasi milenial dan Gen Z lebih terbuka pada kredit konsumtif yang memungkinkan akses instan terhadap barang dan layanan.
Sosiolog digital dari Universitas Indonesia, Dr. Tri Wahyuni, menyebut fenomena ini sebagai "normalisasi utang gaya hidup".Â
Dalam wawancaranya dengan media daring pada April 2025, ia mengungkapkan bahwa generasi muda cenderung menyepelekan risiko jangka panjang dari kebiasaan mencicil, terutama untuk kebutuhan yang bersifat rekreatif, seperti gadget terbaru, liburan dadakan, atau produk fashion.
Hal ini terlihat dari tingginya volume transaksi paylater untuk kategori non-esensial.Â
Data internal salah satu platform e-commerce besar menunjukkan bahwa 60% transaksi paylater pada kuartal pertama 2025 digunakan untuk pembelian elektronik, kosmetik, dan pakaian.
Ketika Tagihan Datang: Realitas yang Menghantam
Kemudahan paylater kerap membuat pengguna kehilangan kendali atas kondisi finansial mereka.Â
Seorang pengguna berusia 27 tahun yang tidak ingin disebutkan namanya mengaku terpaksa meminjam uang dari pinjaman daring lain untuk melunasi tagihan paylater-nya.Â
"Awalnya terasa ringan, tapi saat tagihan datang, beban itu jadi nyata," ungkapnya. Ini mencerminkan bahaya nyata dari efek snowball, ketika satu utang dibayar dengan utang lain, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.
Ciri-ciri umum seseorang yang terjebak dalam jerat paylater antara lain:
Mayoritas pengeluaran bulanan dialokasikan untuk membayar cicilan.
Tidak mengetahui jumlah utang aktif secara keseluruhan.
Merasa stres atau cemas setiap kali menerima notifikasi dari aplikasi keuangan.
Menunda pembayaran minimum sehingga terkena bunga dan denda.
Masalah ini tak hanya berdampak pada kondisi keuangan jangka pendek.Â
Rekam jejak kredit yang buruk---terekam di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) milik OJK---dapat menghambat pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), bahkan bisa menjadi batu sandungan dalam proses rekrutmen kerja di perusahaan yang memeriksa riwayat kredit calon karyawan.
Paylater Bukan Musuh, Tapi Harus Dikenali Risikonya
Pakar keuangan pribadi, Ligwina Hananto, menekankan bahwa paylater bukanlah instrumen jahat, tetapi harus digunakan secara bertanggung jawab.Â
"Gunakan paylater hanya untuk kebutuhan yang sudah direncanakan dan memiliki nilai produktif.Â
Jangan pernah tergoda oleh promo semata," ujar Ligwina dalam sebuah seminar daring bertajuk Generasi Finansial Cerdas yang diadakan pada Mei 2025.
Ia menyarankan agar pengguna menetapkan batas maksimal penggunaan paylater, memprioritaskan pembayaran lunas tepat waktu, serta menyusun anggaran bulanan yang disiplin.Â
Jika memungkinkan, sebaiknya memanfaatkan fitur paylater hanya dalam keadaan darurat, misalnya untuk membeli tiket kereta ketika harus menghadiri acara penting, bukan untuk memburu diskon di tengah malam.
Di sisi lain, OJK dan Bank Indonesia tengah memperkuat regulasi terkait layanan buy now pay later.Â
Salah satunya adalah kewajiban penyedia paylater untuk menyampaikan simulasi total pembayaran secara transparan, termasuk bunga dan denda keterlambatan.Â
Langkah ini bertujuan mencegah praktik yang menyesatkan konsumen dan memastikan mereka memahami kewajiban finansial yang mereka emban.
Literasi Keuangan sebagai Fondasi
Kunci utama untuk menghindari jebakan paylater adalah literasi keuangan yang kuat.Â
Pendidikan finansial perlu ditanamkan sejak dini, bukan hanya melalui mata pelajaran di sekolah, tetapi juga melalui kampanye publik, media sosial, dan kerja sama dengan komunitas digital.
Inisiatif seperti Financial Planning for Millennials yang diluncurkan oleh OJK bekerja sama dengan beberapa influencer pada awal 2025 merupakan langkah positif.Â
Program ini menghadirkan konten edukatif berbasis video pendek di Instagram dan TikTok yang menjelaskan konsep dasar keuangan pribadi, termasuk cara mengelola paylater, memahami bunga majemuk, dan menghindari utang konsumtif.
Namun, kesadaran finansial juga harus ditopang oleh perubahan budaya digital. Algoritma media sosial yang mendorong konsumsi perlu diimbangi dengan ruang yang mendorong refleksi.Â
Narasi "belanja sebagai bentuk self-reward" misalnya, sebaiknya diimbangi dengan narasi baru: "menabung adalah bentuk cinta diri jangka panjang".
Menatap Masa Depan: Kemerdekaan Finansial atau Jerat Digital?
Layanan paylater merupakan simbol dari zaman yang bergerak cepat, praktis, dan terhubung. Namun, dalam setiap kemudahan tersembunyi pula tantangan.Â
Jika generasi muda gagal membangun kendali diri dan kecakapan finansial, maka inovasi seperti paylater bukanlah alat bantu, melainkan jalan menuju keterpurukan.
Pemerintah, lembaga keuangan, perusahaan teknologi, dan masyarakat sipil harus bersama-sama membangun ekosistem konsumsi yang sehat dan berkelanjutan.Â
Paylater bisa menjadi alat untuk memperluas inklusi keuangan, tetapi hanya jika diiringi dengan pengetahuan, transparansi, dan pengawasan.
Di tengah pusaran teknologi finansial, pilihan tetap ada di tangan konsumen.Â
Memahami bahwa setiap "kemudahan" punya harga adalah langkah awal menuju kemerdekaan finansial.Â
Karena sejatinya, kebebasan bukanlah soal membeli apa yang kita mau, melainkan kemampuan untuk mengatakan "tidak" pada apa yang tidak kita butuhkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI