Kisruh yang terjadi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kembali mencuat ke permukaan.Â
Kali ini, dinamika internal lembaga tersebut mencapai titik kritis dengan aksi terbuka sejumlah pegawai yang tergabung dalam kelompok Mimbar Akademis.Â
Aksi yang digelar pada 27 Mei 2025 di depan Gedung BJ Habibie, Kompleks BRIN Jakarta, menyuarakan tuntutan reformasi kelembagaan secara menyeluruh.Â
Tuntutan utamanya ialah pencopotan Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, atas kebijakan sentralistis yang dinilai tidak memperhatikan kesejahteraan pegawai serta merusak tatanan organisasi riset nasional.
Fenomena ini menandai tidak sekadar ketidakpuasan terhadap figur kepemimpinan, melainkan mengindikasikan adanya persoalan struktural dan paradigmatik dalam tata kelola riset nasional Indonesia pasca penggabungan berbagai lembaga riset ke dalam BRIN.Â
Esai ini akan mengulas dinamika konflik tersebut secara komprehensif dengan menelaah konteks historis, aspek kebijakan, implikasi kelembagaan, serta refleksi ke depan demi menyelamatkan masa depan riset Indonesia.
Latar Belakang: Integrasi Lembaga Riset dan Sentralisasi BRIN
Sejak resmi dibentuk pada tahun 2021, BRIN membawa misi besar untuk menyatukan sumber daya iptek nasional melalui integrasi berbagai lembaga riset, seperti LIPI, BPPT, BATAN, dan LAPAN.Â
Langkah ini merupakan bagian dari agenda besar pemerintah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas riset dengan menghilangkan duplikasi fungsi antar-lembaga.Â
Gagasan utama dari pembentukan BRIN ialah membangun one research ecosystem yang lebih terarah, berdaya saing global, dan mampu mendukung visi pembangunan jangka panjang Indonesia.
Namun, dalam praktiknya, implementasi integrasi ini menuai berbagai permasalahan.Â