Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Mencekik" Petani dengan Undang-Undang Perbenihan

1 Oktober 2019   12:00 Diperbarui: 1 Oktober 2019   12:17 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Persawahan ~ Credit by Instagram Zulkarnaen

Dewan perwakilan rakyat dan pemerintah dalam akhir sidang paripurna baru-baru ini mengesahkan undang-undang sistem budidaya pertanian berkelanjutan. Hal ini menjadi peraturan yang kiain mencekik daya saing bagi petani di tengah ketidakpastian berbagai komoditas yang menunjang kinerja mereka.

Beberapa waktu yang lalu, (24/9/2019) dalam sidang paripurna DPR di jakarta mengesahkan undang-undang sistem budidaya pertanian berkelanjutan. Dalam kacamata DPR undang-unndang ini bertujuan melindungi petani. 

Namun, sejumlah organisasi dan lembaga petani dibantu oleh akademisi bertolak belakang dengan klaim tersebut. Koalisi Kedaulatan Benih Petani dan Pangan berpendapat bahwa sejumlah pasal membatasi gerak inovasi mandiri dan berpotensi menjerat para petani. Selain itu juga akan berdampak dan mengancam sumber daya hayati di Indonesia.

Dalam pandangan Dwi Andreasi Santsoso selaku Ketum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia, bahwa dalam UU perbenihan tersebut menjadi batu sandungan bagi para petani, terkhusus bagi mereka petani pemulia benih. Beberapa pasal mengancam inovasi dan pengembangan varietas yang ditelurkan dari petani tersebut. 

Hal ini membuka lagi potensi pengkriminalan petani terutama mereka suku pedalaman yang secara turun termurun mengkoleksi dan memuliakan benih mereka. Memang benar ada pengeculian bagi mereka petani kecil, namun secara garis besar tentu akan membatasi gerak mereka sendiri.

Sebagai percontohan pasal dalam undang-undang tersebut pada pasal 27 ayat 3 menyebutkan bahwa peraturan tersebut mewajibkan petani kecil yang mencari dan mengumpulkan sumber daya genetik melapor kepada pemerintah melalui dinas terkait. Dalam pasal lain menyebutkan bahwa varietas hasil pemuliaan petani kecil hanya dapat diedarkan dalam skala kota atau kabupaten. 

Hal ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 99/PUU-X/2012 yang berisi tentang pembolehan bagi petani kecil mengedarkan varietas hasil pemulian ke komunitas mereka dan tidak terbatas pada wilayah tertentu. Akan tetapi pemerintah melalui Menteri Pertanian berlainan pendapat bahwa ketika peredaran benih tersebut ke luar dari daerah asalnya, bukan termasuk lagi dalam lingkup petani kecil malahan masuk dalam ketegori pengusaha besar.

Berbagai upaya dalam mengatur, membatasi bahkan mengkriminalkan petani dengan undangg-undang tersebut merupakan bentuk ketidakmampuan untuk menjaga tradisi pertanian yang solid melekat dalam diri. Menjadi sesuatu yang wajar jika kita mengkategorikan bahwa Undnag-undang perbeniihan memberikan angin segara bagi pemain kartel benih menguasai berbagai sumber genetik dan macam benih yang berada di genggaman petani kecil.

Situasi dan kondisi seperti ini akan membuat petani tidak berdaulatt di tanah mereka sendiri. Para petani kecil bisa masuk dalam lingkaran kartel benih yang merugikan dan merugikan kedaulatan pangan negara secara berkepanjangan. Seyogyanya ketika peraturan muncul tidak malah memberatkan, namun harus memberikan akses untuk berinovasi dan memberikan benih-benih yang unggul.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun