Di tengah arus globalisasi dan derasnya pengaruh budaya luar, pendidikan nasional dihadapkan pada tantangan besar yaitu bagaimana membentuk karakter siswa yang berakar pada nilai-nilai luhur bangsa sendiri. Salah satu sumber nilai tersebut adalah kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat kita. Dalam konteks budaya Jawa, wewangunan atau arsitektur tradisional Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan warisan budaya yang menyimpan makna mendalam dan sangat relevan untuk dijadikan sebagai sumber pembelajaran karakter di sekolah.
Makna Wewangunan Keraton Surakarta
Wewangunan dalam konteks keraton tidak hanya berarti bentuk fisik bangunan, melainkan juga filosofi dan simbol-simbol kehidupan. Tata letak Keraton Surakarta dibangun berdasarkan kosmologi Jawa, yaitu poros imajiner dari Gunung Merapi -- Keraton -- Laut Selatan. Poros ini menggambarkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan.
Setiap bagian dari keraton memiliki makna yang mengandung ajaran moral dan spiritual. Secara umum bagian-bagian dari wewangunan antara lain sebagai berikut :
Gapura Gladag
Gapura Gladag Keraton Surakarta memiliki makna simbolik yang kuat sebagai bagian dari sistem tata ruang keraton dan merupakan salah satu pintu gerbang utama yang menghubungkan dunia luar (kota) dengan kawasan sakral keraton. Kata "Gladag" sendiri dalam bahasa Jawa berarti "jalan masuk" atau "pintu gerbang besar", dan gapura ini terletak di sisi utara keraton, menjadi batas antara area publik dan area istana dalam struktur kota Surakarta yang berbasis kosmologi Jawa. Gapura Gladag berarti menanggalkan sifat duniawi dan mempersiapkan diri untuk memasuki dunia kerohanian dan kebijaksanaan, sebagaimana raja dan bangsawan dahulu kala harus mematuhi etika dan tata krama tinggi saat memasuki lingkungan keraton.
Gapura Pamurahan
Gapura ini mencerminkan fase hidup manusia yaitu dari masa duniawi (muda, bergelora, dan penuh ambisi), kemudian menuju kematangan spiritual dan ketundukan pada nilai-nilai luhur. Gapura Pamurahan menjadi lambang bahwa kemuliaan hanya dapat dicapai melalui kerendahan hati dan pembersihan jiwa. Atau dalam filosofi Jawa dikenal " nrimo ing pandum" yaitu menerima dengan Ikhlas apa yang digariskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Alun-Alun Lor
Ruang terbuka yang melambangkan keterbukaan dan kesiapan untuk menerima berbagai pandangan. Ditanami pohon beringin yang diberi nama Dewandaru dan Joyondaru. Kehadiran dua pohon beringin melambangkan konsep dualitas yang harmonis dalam ajaran Jawa: lanang -- wadon, gelap -- terang, keras -- lembut, duniawi -- spiritual.
Joyondaru dan Dewandaru tidak boleh dipisahkan. Mereka menggambarkan keseimbangan hidup yang menjadi dasar keharmonisan masyarakat dan pemerintahan. Pohon beringin dalam budaya Jawa sering dikaitkan dengan simbol perlindungan dan keadilan. Seorang pemimpin (raja atau guru dalam konteks pendidikan) seharusnya mampu menaungi, meneduhkan, dan melindungi rakyatnya secara adil, seperti beringin besar yang meneduhi siapa pun tanpa pilih kasih.