Dalam dunia perbankan Indonesia, dua istilah yang sangat populer adalah bank konvensional dan bank syariah. Bank konvensional identik dengan pinjaman berbunga yang jelas-jelas diharamkan (catatan: menurut sebagaian besar pendapat ulama) dalam Islam karena mengandung riba. Sedangkan bank syariah hadir sebagai alternatif yang menjanjikan sistem pembiayaan tanpa riba, dengan akad-akad yang sesuai syariat Islam.
Namun, benarkah bank syariah ini adalah solusi sejati bagi umat Muslim? Atau sebenarnya hanya sebatas label dan branding yang berbeda, sementara hakikatnya dari sisi biaya yang harus ditanggung nasabah nyaris sama dengan bank konvensional?
Apa Itu Riba dan Mengapa Harus Dihindari?
Islam dengan tegas melarang riba. Riba secara sederhana adalah tambahan uang yang diperoleh dari pinjaman secara tidak adil, yang memberatkan peminjam. Larangan riba bukan tanpa alasan: riba menyebabkan ketimpangan, penindasan, dan menjauhkan manusia dari keadilan sosial.
Bank konvensional menggunakan sistem bunga (interest), di mana nasabah yang meminjam uang harus membayar kembali pokok plus bunga yang dihitung berdasarkan persentase tertentu dan waktu tertentu. Sistem ini jelas riba.
Bank syariah hadir dengan akad-akad yang berbeda, seperti murabahah (jual beli dengan margin keuntungan), ijarah (sewa), dan musyarakah (kerja sama usaha). Secara teori, sistem ini lebih adil karena tidak ada tambahan uang yang dipaksakan hanya karena waktu.
Realita Biaya Pembiayaan Bank Syariah
Namun jika kita lihat lebih dalam, biaya yang harus dibayar nasabah bank syariah ternyata hampir setara dengan biaya pinjaman di bank konvensional.
Contohnya, seseorang mengajukan pembiayaan murabahah senilai Rp100 juta dengan margin keuntungan 20%. Maka total pembayaran yang harus dilakukan adalah Rp120 juta, dicicil selama jangka waktu tertentu.
Di sisi lain, bank konvensional dengan bunga 20% selama jangka waktu yang sama juga akan menghasilkan pembayaran total yang kurang lebih sama.
Perbedaan utama hanya di istilah, bukan pada beban finansial nasabah.