"Kemarin dari Eropa kita dituduh merusak lingkungan. Lalu diboikot. Sekarang diserang lagi soal pemanfaatan tenaga anak, katanya melanggar HAM," terangnya dengan muka kecut.
"Padahal kalau di luar Jawa ya memang petani penggarap rata-rata tinggal di tengah kebun sawit. Wajar kalau dia mengajari anak-anaknya ikut bertani dengan kegiatan ringan, semisal menyiram atau memupuk. Tapi jelas bukan perusahaan yang mempekerjakan mereka."
"Lah iya Pak, orangtua saya juga petani sawit. Sekali-sekali waktu kecil saya diajak ikut ke kebun, ya lucu-lucuan saja, bukan diberi pekerjaan berat," kata Saya, menyetujui pendapatnya.
"Nah, yang seperti itu tolonglah dijelaskan. Bagaimanapun minyak sawit kita butuhkan untuk kebutuhan sehari-hari. Menggoreng atau menumis apapun pasti pakai minyak sawit. Mandi, mencuci pakai sabun, itu juga dari minyk sawit," katanya.
Saya mengangguk-angguk setuju. Tapi bagaimanapun saya masih penasaran apakah ada kebun sawit milik rakyat, soalnya sejak dari Subang hingga ke Bogor, yang saya temui baru kebun besar milik perusahaan. Tentu tak sulit bagi perusahaan yang bermodal besar untuk menerapkan praktik yang sustainable agar disukai oleh konsumennya.
"Kalau di sekitaran sini pasti milik PTPN. Tapi coba ke arah Banten. Di Malingping saya pernah dengar ada," jawabnya.
"Ini serius kamu momotoran sendirian malam-malam? Ga takut?" Tanya Pak Alit sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Oh iya tentu, Pak. Saya justru merasa lebih aman berkendara malam, soalnya lebih lengang. Yang penting tidak mengantuk saja. Tidur siang yang cukup sebelum jalan," jawab saya percaya diri.
"Ya sudah, hati-hati di jalan," ia melepas dengan tatapan khawatir.
Tentu saja jalur dari Bogor ke Banten tak semudah yang awalnya saya kira. Infrastruktur di Banten tidak sebaik Bogor. Banyak jalan rusak dan penerangan minim. Seringkali saya harus melahap jalanan dalam keadaan gelap gulita, namun resiko ini saya ambil untuk bisa mendengarkan bagaimana sebenarnya petani kecil di Pulau Jawa mengelola kebun sawit mereka.