Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Menikmati Penyeberangan ke Baubau di Tengah Prahara

22 Oktober 2019   03:01 Diperbarui: 22 Oktober 2019   03:20 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sup ubi, tergantung resep kokinya masing-masing, adalah jenis sup yag menggunakan ubi yang tampaknya digoreng terlebih dahulu, lalu dicemplungkan ke dalam masakan sup. Bisa saja bentuknya sup bening seperti yang saya temui di google. Atau yang saya pesan ini supnya kental, tampaknya dengan santan dan banyak bumbu.

Ciri khas dari sup ubi bukan hanya ubi, tapi juga tambahan mie nya yang nikmat. Bisa mie kuning, atau sejenis bihun.

Sop Ubi, dokpri
Sop Ubi, dokpri
Top sekali lah pokoknya sup ubi! Tak perlu nasi lagi karena sumber karbohidratnya bagus dan berserat, yaitu ubi. Kenyangnya lebih lama tapi enaknya tidak berkurang seperti masakan berlabel sehat lainnya.

Selesai melahap sup ubi, saya sempatkan menikmati pantai di malam hari, lalu tidur supaya besok tidak kesiangan.

Pelabuhan Kendari, Dokpri
Pelabuhan Kendari, Dokpri
Pagi hari, setelah beberes, saya checkout, lalu naik gojek ke pelabuhan. Tiketnya sekitar Rp 170-180 ribu ke Baubau, tertulis eksekutif. Sayangnya saya tidak sadar kalau ternyata ada layanan VIP di deck atas. Padahal tempatnya lebih enak lagi. Tapi yang eksekutif pun sudah enak sekali kok.

Pelabuhan Kendari, Dokpri
Pelabuhan Kendari, Dokpri
Menuju kapal, saya bertemu beberapa ibu-ibu yang menjajakan jajanan pasar untuk sarapan. Ada yang menarik hati saya. Ada semacam lemang dengan nama masing-masing, lapa-lapa, buras, dan gogos. Kemudian berjalan sedikit lagi, lengan saya dijawil penjual jagung. "Sudah coba kambeve?" Namanya terlalu asing sehingga saya minta ibu itu mengulangnya. "Kambete.. apa? Kam..."

Kambeve, Dokpri
Kambeve, Dokpri
"Kambeve! Kambeve! Pakai VE! Bukan Te. Kambeve!" Katanya setengah berteriak di telinga. Setelah tiga kali disebutkan, barulah saya mengerti cara mengejanya. KAM-BE-VE.

Bau kambeve harum. "Itu dari jagung muda dilumat. Manis sekali. Coba saja! Tiga sepuluh ribu.." Jawab si Ibu muda itu manis. Karena kapal akan segera berangkat, maka saya tidak bisa berlama-lama dan langsung membawa kambevenya ke kapal. Begitulah enaknya kapal laut. Waktu boardingnya ga pake lama.

"Maaf, ini tas siapa, Pak? Bu?" Tidak ada yang mengacuhkan saat saya bertanya kenapa bagian depan kursi saya ditumpuki dengan banyak sekali kardus di seat A3. Padahal posisi kursinya paling depan. Akibatnya tidak ada sama sekali ruangan untuk kaki.

Tapi ya mereka tidak peduli sama sekali. Sekali lagi tampaknya dialek Jakarta dianggap halus sekali di sini, sampai seorang bapak-bapak dengan muka keras datang dan bersiap duduk di sebelah saya. Bagi saya, intonasinya setengah berteriak.

"Eh sapa punya barang ini!? Singkirkan! Sa mau duduk!" Sa dalam dialek timur berarti saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun