Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Menikmati Penyeberangan ke Baubau di Tengah Prahara

22 Oktober 2019   03:01 Diperbarui: 22 Oktober 2019   03:20 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan ke Sulawesi Tenggara mungkin perjalanan paling sulit yang pernah saya hadapi. Bukan hanya karena jalanan yang kurang baik ada di mana-mana, tapi juga secara umum kota-kota di sini tampak kurang siap menerima kunjungan wisata. Ibukotanya Kendari saja punya rute angkutan kota yang membingungkan, sulit mencari informasinya. Saya malah diminta naik ojek saja. Hihi.

Ya, untungnya di Kendari ada layanan ojek pangkalan maupun online. Becak juga ada untuk jarak dekat. Tapi berkomunikasi dengan orang Timur yang perbedaan dialeg bahasanya agak jauh membuat sering terjadi salah pengertian. Seperti saat hendak melanjutkan perjalanan ke Jawa saya harus berputar-putar berulangkali karena saling salah dengar.

Di pelabuhan pun seperti itu. Ternyata saya misinformasi. Kapal ke pulau Jawa tidak ada di Kendari, harus menyeberang lagi ke Baubau. Dan di kemudian hari setelah saya ke Baubau dijawab lagi ternyata kapalnya hanya ada beberapa hari setelahnya. Sungguh rasanya hati ini ingin mengumpat!

"Bapa.. sudah berulangkali saya minta tidak usah cari hotel bagus. Cukup yang murah-meriah saja di sekitaran pelabuhan," Stres saya sudah di ubun-ubun. Saya hampir menjerit saat tahu Kang Ojeknya yang terlihat seperti orang Papua atau Ambon, dari logatnya.

"Iya nanti saya antar yang bagus pemandangan matahari terbenamnya. Suka to?" Jawabnya yakin sambil terus ngebut menjauhi daerah pelabuhan.

"Tidak usah, saya sudah nonton sunset di Kendari ini, sudah cukup," jawab Saya.

"Ya tapi ini bagus sekali Bapa harus coba. Kamarnya di atas, bisa lihat pantai dari ketinggian. Minta saja kamar paling atas," katanya ngeyel.

"Tidak usah Paaaak... Sudah-sudah di sini saja!" Teriak saya. Ia masih saja bercerita kalau di  tempat yang dia maksud bagus sekali kalau menikmati malam hari karena banyak tenda-tenda kuliner. Ditambah dengan mentari di Kendari memang terik, lalu perut yang memang dari tadi dalam keadaan mules dan diare, semakin memicu emosi jiwa. Saya terpaksa memberikan sisa seluruh uang saya hari ini. Karena harga yang ia patok cukup mahal dari pelabuhan tadi, Rp 30 ribu! 

Menyebalkan, bukan bapak ojek tersebut, karena saya mengerti sebenarnya niatnya baik. Tapi kesalahpahaman kami mengenai hotel mana yang mesti ditujulah yang membuat hati saya ikut-ikutan panas. 

 Ya Allah. Cobaan apa yang harus hamba hadapi sepanjang hari ini. Jerit saya. Di papan pengumuman depan, tertera harga seratus tujuh puluhan ribu.  Tapi saat saya masuk, resepsionisnya dengan santainya bilang, "Oh itu harga lama. Tidak berlaku lagi, Kakak," Jawab penjaganya dengan senyum manis.

"Ya kalau gitu tidak usah dipasang spanduk promonya, Kak," Sahut saya kesal. Ini sepertinya jadi kebiasaan di Kendari, sudah berapa hotel saya datangi kemarin sering ada spanduk promo dipasang dengan harga fantastis, tapi kalau ditanya ke resepsionis, harganya langsung dipatok dua kali lipat lebih mahal.

Saya coba cek ke Airy untuk bisa mendapatkan harga promosi, langsung dipotong, "Oh kalau Airy tidak berlaku lagi, kamarnya kami tutup." Saya pun menatap bengong.

"Ya kalau gitu kasih tanda Airy di depan hotel buat apa toh," rutuk saya semakin lirih karena kesal yang makin tak tertahankan.

Kecewa, lelah, sedih, marah, bercampur aduk jadi satu. Nah saya juga lupa kalau uang saya sudah benar-benar habis. Rogoh katong tas, dapat recehan kembalian, cuma sisa Rp 7.000. Karena hausnya sudah luar biasa, saya belikan es tebu. Sisa Rp 2.000.

"Di mana ATM di sini?" Warga yang saya tanyai tampak kebingungan dengan istilah ATM, sampai saya tepuk jidat. "Bank.. Bank.. Mandiri? BCA?"

"Oh.  Ada, depan sekolah." Katanya menunjuk ke arah timur. Tampak orang sini memang singkat sekali kalau bicara. Sulit dimengerti.

"Jauh tidak?" Saya memastikan, sebelum benar-benar berjalan.

"Eee.. ya cukup jauh kalau jalan kaki."

Saya perhatikan ke arah jalan. Ada angkot tiap setengah jam sekali. "Itu berapa ongkos angkotnya?" Dia tidak menjawab. Lalu melengos dan kembali dengan aktivitas dagangnya. Benar-benar bikin emosi jiwa!

Dan ungkapan cukup jauh di sini itu lebih tepat diartikan sebagai "Sangat jauh". Setelah 1,5 km berjalan, barulah saya sampai di ATM yang dimaksud. Saya colok kartu ATM, yang keluar malah keterangan kartu ATM saya ditolak karena beda bank. Padahal ya zaman sekarang hampir semua bank sudah bisa bertukar kartu ATM.

Saya coba pindah lagi ke sebelahnya, sama saja. Network error. Sungguh tidak praktis.

Setelah berputar-putar di beberapa mesin, akhirnya ada yang jalan normal. Saya ambil beberapa puluh ribu. Lalu jalan ke restoran depan. Ada pasangan Chinese yang terlihat cukup tua. Jualannya cukup sederhana, nasi dan mi goreng. Tapi mata saya terpaku kepada nasi goreng merahnya.

"Apa ini nasi goreng merah, bu?"

"Ya.. merah!" Jawabnya sekenanya.

"Ya maksud saya ini merahnya karena apa. Memang merah karena berasnya berasnya warna merah, atau bumbunya bikin warnanya jadi merah, atau bagaimana?"

Nasi Goreng Merah, dokpri
Nasi Goreng Merah, dokpri
"Ya warnanya merah," Lagi-lagi Si Ibu menjawab sekenanya. Hahaha. Memang butuh kesabaran luar biasa untuk bisa menikmati kuliner di Kendari ini. Mau tidak mau karena memang sudah lapar, saya pesan saja nasi goreng merahnya. Ternyata memang bukan beras merah, namun bumbu yang digunakan merah. Saya cek, ternyata ini asli dari Makassar. 

Kafe Cikini, dokpri
Kafe Cikini, dokpri
Lanjut kemudian mencari hotel, saya kembali tersasar ke sebuah kafe bernama Kafe Cikini. Saya tanya, syukurnya mereka memang perantau dari Jakarta. Masih anak-anak muda. Kagum juga rasanya masih ada anak muda yang merantau ke daerah.

Kafe Cikini, Dokpri
Kafe Cikini, Dokpri
Memang makanan di sini tidak terlalu istimewa. Yang menyangkut di hati saya cuma yoghurt strawberry. "Ya tidak apa-apa, enak juga kalau panas begini minum yoghurt dingin," Saya menyetujui rekomendasi mereka.

Pemandangan Senja di Kafe Cikini, dokpri
Pemandangan Senja di Kafe Cikini, dokpri
"Minumnya sambil menikmati matahari terbenam saja kak, sebentar lagi, di lantai atas." Saran mereka ramah. Saya pun penasaran. Ternyata makin ke atas, tampilan kafe ini makin bagus, dengan interior yang digarap rapi mirip kafe-kafe di Jakarta. Ya sudahlah ya... cukup untuk menghibur hati saya atas kejadian hari ini.


Memang di senja hari, walau posisi kafe ini tidak pas benar menghadap barat, langit di Pantai Kendari bersih luar biasa. Matahari terbenamnya bisa saya nikmati perlahan bergerak menghilang sehingga akhirnya menyisakan hanya rona merah tua di atas langit hitam. Sekilas saya masih bisa menikmati jernihnya air laut di sini sehingga karang dan ikan-ikan di sekitarnya masih kelihatan.

Berpindah ke hotel di sebelahnya, saya masih menemui hal serupa. Kamar tertulis Rp 175 ribuan, eh saat ditanya di resepsionis terpaksa bayar Rp 220 ribu juga. Ya sudahlah, masih terjangkau di kantong saya. Dan posisinya juga mengarah ke pelabuhan jadi besok saya bisa bergegas pagi menyeberang ke Baubau.

Selesai check in, saya usil memeriksa layanan Go Food di Kendari. Ternyata ada! Hihiy.. saya bersorak. Iseng saya mencari Sup Ubi, yang memang sudah menarik perhatian saya dari kemarin. Dalam 12 menit sup ubinya sampai. Dan sesuap, rasanya tidak mengecewakan lidah saya.

Sup ubi, tergantung resep kokinya masing-masing, adalah jenis sup yag menggunakan ubi yang tampaknya digoreng terlebih dahulu, lalu dicemplungkan ke dalam masakan sup. Bisa saja bentuknya sup bening seperti yang saya temui di google. Atau yang saya pesan ini supnya kental, tampaknya dengan santan dan banyak bumbu.

Ciri khas dari sup ubi bukan hanya ubi, tapi juga tambahan mie nya yang nikmat. Bisa mie kuning, atau sejenis bihun.

Sop Ubi, dokpri
Sop Ubi, dokpri
Top sekali lah pokoknya sup ubi! Tak perlu nasi lagi karena sumber karbohidratnya bagus dan berserat, yaitu ubi. Kenyangnya lebih lama tapi enaknya tidak berkurang seperti masakan berlabel sehat lainnya.

Selesai melahap sup ubi, saya sempatkan menikmati pantai di malam hari, lalu tidur supaya besok tidak kesiangan.

Pelabuhan Kendari, Dokpri
Pelabuhan Kendari, Dokpri
Pagi hari, setelah beberes, saya checkout, lalu naik gojek ke pelabuhan. Tiketnya sekitar Rp 170-180 ribu ke Baubau, tertulis eksekutif. Sayangnya saya tidak sadar kalau ternyata ada layanan VIP di deck atas. Padahal tempatnya lebih enak lagi. Tapi yang eksekutif pun sudah enak sekali kok.

Pelabuhan Kendari, Dokpri
Pelabuhan Kendari, Dokpri
Menuju kapal, saya bertemu beberapa ibu-ibu yang menjajakan jajanan pasar untuk sarapan. Ada yang menarik hati saya. Ada semacam lemang dengan nama masing-masing, lapa-lapa, buras, dan gogos. Kemudian berjalan sedikit lagi, lengan saya dijawil penjual jagung. "Sudah coba kambeve?" Namanya terlalu asing sehingga saya minta ibu itu mengulangnya. "Kambete.. apa? Kam..."

Kambeve, Dokpri
Kambeve, Dokpri
"Kambeve! Kambeve! Pakai VE! Bukan Te. Kambeve!" Katanya setengah berteriak di telinga. Setelah tiga kali disebutkan, barulah saya mengerti cara mengejanya. KAM-BE-VE.

Bau kambeve harum. "Itu dari jagung muda dilumat. Manis sekali. Coba saja! Tiga sepuluh ribu.." Jawab si Ibu muda itu manis. Karena kapal akan segera berangkat, maka saya tidak bisa berlama-lama dan langsung membawa kambevenya ke kapal. Begitulah enaknya kapal laut. Waktu boardingnya ga pake lama.

"Maaf, ini tas siapa, Pak? Bu?" Tidak ada yang mengacuhkan saat saya bertanya kenapa bagian depan kursi saya ditumpuki dengan banyak sekali kardus di seat A3. Padahal posisi kursinya paling depan. Akibatnya tidak ada sama sekali ruangan untuk kaki.

Tapi ya mereka tidak peduli sama sekali. Sekali lagi tampaknya dialek Jakarta dianggap halus sekali di sini, sampai seorang bapak-bapak dengan muka keras datang dan bersiap duduk di sebelah saya. Bagi saya, intonasinya setengah berteriak.

"Eh sapa punya barang ini!? Singkirkan! Sa mau duduk!" Sa dalam dialek timur berarti saya.

Orang di sebelah saya langsung terlonjak dan langsung menunjuk bagian lain kapal yang cukup jauh. Padahal tadi saya bertanya orang-orang ini melengos saja.

"Singkirkan! Ko punya barang pegang sendiri-sendiri! Jangan ganggu orang!"

Nadanya mirip ngajak berantem. Tapi ya tampaknya begitulah cara bicara yang proper untuk bisa menarik perhatian lawan bicara di Kendari ini. Buktinya dalam sekejap tempat sandaran kaki kami bersih dari barang apapun.

Dia lalu tersenyum kepada saya, mukanya jenaka seolah ingin menertawakan, "Tuh kaya begini di sini kalau ngomong. Jangan cemen kaya elo." Hahaha. Problem selesai, kami bisa duduk dengan nyaman sepanjang perjalanan. Saya juga tersenyum dan berterima kasih kepadanya. Sisanya saya tertidur.


Di tengah jalan, perut mulai lapar. Saya buka jajanan tadi. Ternyata yang namanya lapa-lapa itu semacam lontong panjang yang diaduk dengan santan saat pembuatannya. Sehingga jadi gurih. Mirip ketupat ketan di Sumatera. Namun bulir berasnya halus dan lembut sekali sehingga padat seperti lontong di Jawa. Rasa beras ketannya juga manis seperti beras di Jawa.

Lapa-Lapa, Dokpri
Lapa-Lapa, Dokpri
Lalu berikutnya saya coba buras yang sedikit lebih besar dan dibungkus daun pisang, beda dengan lapa-papa yang tampaknya dibungkus daun kelapa. Rasa buras jauh lebih mirip lontong di Jawa, minus lauknya. "Nanti dimakan sama cabe, sedap!" Saya teringat pesan ibu penjualnya tadi saat saya terburu-buru membawa bungkusan yang sudah disisipkan cabe rawit di dalamnya.

Buras, Dokpri
Buras, Dokpri
Nah beda lagi dengan gogos. Ini adalah lemang yang dibakar dalam daun pisang dan batang bambu hingga daun pisangnya kehitaman. Tapi beda dengan lemang biasa, yang digunakan dalam gogos yang saya beli ini adalah ketan hitam. Rasanya jadi lebih kuat dan harum!

Gogos, dokpri
Gogos, dokpri
Masih penasaran, saya pindah lagi ke kambeve. Benar saja, ini nikmat sekali, karena bau jagungnya yang harum dengan adonan lengket ala lepet membuat mulut saya tidak behenti mengunyah. Nikmat!

Gogos, Dokpri
Gogos, Dokpri
Masih ada lagi dua kue yang juga saya sempatkan beli, yaitu teripan dan danggo-danggo. Tapi tidak terlalu istimewa, karena sebenarnya teripan mirip sekali dengan godok atau gemblong di Jakarta. Sementara danggo-danggo bulatan dari kacang hijau, mirip gandasturi di Jawa, namun mayoritas bahannya adalah kacang hijaunya.

Danggo-Danggo, dokpri
Danggo-Danggo, dokpri
Puas menikmati kuliner di sepanjang perjalanan ke Kendari hingga Baubau, saya tertidur di sepanjang perjalanan. Hingga akhirnya saya dibangunkan oleh anak buah kapal saat seisi kapal hampir sepi. Saya periksa isi tas, aman.. tidak ada barang hilang walau kapal ini sempat crowded. Kemudian saya minta izin untuk ke atas memotret kamar VIP yang mewah sekali. Kursinya bisa didandarkan turun untuk penumpang yang ingin tidur. Selain itu kursinya juga lebih sedikit sehingga terasa lapang. ACnya dingin dan TV nya layar lebar, beda dengan kursi kelas eksekutif.

Teripan, dokpri
Teripan, dokpri
Lalu saya melangkah turun, sampai di Terminal Pelabuhan Baubau. Dan nasib akhirnya menahan saya beberapa hari lagi di sini.

Selamat datang petualangan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun