"Bagus, pikir saya, setidaknya lebih manusiawi dibanding Jakarta," Pikir saya.
Sebenarnya Rantepao hanya kota kecil dengan satu jalan besar. Sehingga dengan sigap ia mengantarkan saya hanya dengan ongkos lima ribu saja. Tapi apes, saya sudah terlambat. Hanya bus ke Makassar yang tersedia setelah pukul 12:00.
"Kalau ke Kendari baru ada besok lagi, datang pagi-pagi," Kata Ibu penjaga di PO Icha. Wah, rugi sekali ya tadi saya makan siang terlalu lama, pikir saya.Â
Apa boleh buat, akhirnya saya mencari penginapan kecil di sekitar PO Icha, tepat di sebelah Kafe Aras. Lumayan, malamnya saya masih bisa mengikuti pelatihan menulis The Writersnya Om Budiman Hakim yang melegenda itu.Â
Sambil iseng mengerjakan tugas-tugas pelatihan, saya menyempatkan melihat menu. Ada satu lagi yang belum saya coba dari kuliner Toraja, yaitu sayur pakis. Lagi-lagi berbeda dengan seni masak di Sumatera Barat yang juga mengenal sayur pakis.Â
Kalau di Sumatera Barat pakis biasanya digulai, maka di sini sayuran pakis dijadikan tumisan berkuah kental, mirip sayur cah kangkung. Dan rasanya juga jauh berbeda.Â
Jika gulai pakis yang pernah saya coba di Padang Panjang lebih kuat rasa asamnya, maka di sini rasanya manis berminyak, bahkan cenderung bergelinyir, seperti dilumuri sagu papeda.
Setelah Kafe Aras tutup, saya masih menyempatkan diri mengunjungi Warung Teras Bambu yang menyajikan bebek palekko. Setelah saya icipi, ini mirip dangkot namun kuahnya lebih pedas, cair, dan tidak pakai cabe hijau.Â
Potongan-potongannya juga mirip daging cincang, kecil dengan banyak tulang. Palekko adalah teknik masak khas Bugis yang memang terkenal agak pedas.Â
Keesokan hari, sedari pagi saya segera bergegas kembali ke PO Icha. Untung tidak telat bangun, jadi sambil membuat mi instan dalam kemasan mangkuk sytrofoam, saya terbirit-birit mengejar bis Icha yang menuju Kendari.Â