"Itu di persimpangan sana, naik saja bus putih", info dari Si Mamang.Â
"Bus tiga perempat?" Tanya Saya berusaha meyakinkan.Â
"Iya yang tiga perempat, bus pendek," jawabnya berusaha meyakinkan.
Bukan apa-apa sih, waktu di perjalanan menuju Cilacap, bus tiga perempat yang saya dapatkan adalah bus tua dan tidak ada AC. Walaupun saya tidak masalah juga naik bus tanpa AC, tapi jelas yang menggunakan AC lebih nyaman.

Ongkosnya juga ringan, Rp 25-30 ribuan, tergantung bus jenis apa yang dinaiki. Memang ada sih pengamen naik, tapi itu rasanya itu sudah jadi tradisi kendaraan umum di jalur puncak dari dulu.Â
Jadi saya nikmati saja sambil melempar pandangan keluar jendela sambil mendengarkannya. Indah sekali, perkebunan, beberapa ternak kambing yang melintas, dan jalanan kecil yang meliuk-liuk, nyaris tidak ada yang berubah dari jalur puncak selain hilangnya restoran dan kafe besar.
Lalu sayup-sayup suara gitarnya mengantar saya ke alam mimpi.
"Siap-siap, dikit lagi Cianjur, A", seru kondekturnya sambil mempersilakan kami turun untuk buang air di SPBU menjelang Cianjur.Â
Pengaturan kandung kemih diperlukan karena bus hanya akan berhenti untuk mengisi bahan bakar, itupun tidak menunggu lama. Karena itulah saya menahan untuk tidak minum terlalu banyak sebelum naik bus. Kalau tidak, bisa berabe menahan pipis berjam-jam.
