Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

"Norak"nya Julukan Tol Jokowi, Bandara Jokowi, Pasar Jokowi, dan Masjid Jokowi

3 Agustus 2018   14:07 Diperbarui: 3 Agustus 2018   14:27 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat memulai tur #1000kmJKW, berbagai kecaman yang menurut saya dibuat-buat, mendera, "Norak banget sih tol dinamai tol Jokowi segala. Ga begitu caranya mendukung Jokowi, dasar Hariadhi Norak!" 

Lah ya padahal penamaan Tol Sumatera menjadi tol Jokowi itu bukanlah sesuatu yang dibuat-buat. Ia ada karena memang warga sekitar merasa terharu dan senang Jokowi sudah berbuat banyak untuk tanah Sumatera yang selama ini dicuekin, tambangnya dihisap, buah dan sayurannya diambil untuk kepentingan konsumsi Jawa, pajaknya disalurkan ke pusat, tapi giliran pembangunan, dianaktirikan.

"Jadi di mana yang tol Jokowi itu bu?" Saya bertanya di sebuah warung di sekitaran jalan Lampung menuju Palembang. Dengan mantap si Ibu menjawab "Ada nanti sekitar 20 km lagi, jalannya memang masih terputus-putus. Masuk tol beberapa kilometer, lalu nanti diwajibkan keluar. Masuk lagi, lewat lagi beberapa kilometer, lalu keluar lagi . Begitu terus sampai nanti dekat Palembang."

Ya, kalau ditanyai Tol Sumatera, mereka agak kebingungan karena merasa tol itu sebenarnya belum siap dan belum terlalu akrab di telinga. Tapi begitu diingatkan tol Jokowi, alias tol yang dibangun Pakde Jokowi, warga sekitar dengan lancar menunjukkan. 

Tol Sumatera patut dipuji menjadi Tol Jokowi karena begitu mulus, bahkan lebih mulus dari tol di Jawa, sementara di sana kita mahfum tanahnya rawa-rawa dan bergambut. Tanah tipe ini terkenal paling sulit untuk dibangun infrastruktur. Dulu waktu masih kecil saya pernah membaca majalah mingguan keluaran Caltex (sekarang Chevron) bahwa tanah gambut itu seperti spons yang di dalamnya berisi air. 

Tanahnya labil sehingga baru diaspla beberapa bulan, bakalan amblas, apalagi setelah dilalui banyak truk bertonase tinggi melebihi kapasitas beban jalan. 

Di sekitar Zamrud, misalnya, bisa terlihat pipa minyak seolah terangkat melebihi ketinggian mobil. Bukan karena pipanya tumbuh, namun karena lama-kelamaan tanahnya amblas ke bawah setelah dilewati berbagai kendaraan.

dokpri
dokpri
Nah Tol Sumatera dibangun dengan expertise anak-anak muda kita yang penuh inovasi. Rongga tanah yang terisi air dipompa keluar dan tanahnya dipadatkan. Dengan demikian didapat jalur mulus nyaris tanpa gelombang seperti yang sudah terlihat di Tol Indralaya. Teknologi ini disebut VCM alias Vaccuum Consolidation Method. 

Tentu saja teknologi ini bukanlah hasil penjajahan asing aseng, karena di negaranya Aseng berasal, nyaris tidak ada rawa, sementara yang membangun Tol Indralaya ini adalah Kementerian PU dan kontraktornya untuk pengolahan tanah basis tol adalah BUMN Hutama Karya.

Tol Jokowi 100% Indonesia!

dokpri
dokpri
Beberapa hari hingga sampai ke Deli Serdang, menjelang pusat kota Medan, saya berhenti sebentar di sekitaran pintu keluar Tol Belmera, ada pasar kecil nyempil di ujung perkebunan sawit. Sekilas saya lihat namanya Pasar Nawacita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun