Mohon tunggu...
Harfei Rachman
Harfei Rachman Mohon Tunggu... Freelancer - An Un-educated Flea

Aku, pikiran yang kamu takkan bisa taklukkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Asal Muasal Cerpen "Babak-Babak" dan Perlawanan Saya Melawan Stigma Bunuh Diri

10 September 2018   20:32 Diperbarui: 10 September 2018   20:49 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bertepatan dengan hari pencegahan bunuh diri ini pada tanggal 10 September 2018, saya ingin bercerita tentang tulisan/cerpen saya sebulan terakhir di Kompasiana.

Ketika mengawali kisah cerpen babak-babak, saya punya dua hal yang menjadi alasan saya untuk menulis kisah tersebut.

Yang pertama, lagu Efek Rumah Kaca yang berjudul Tubuhmu Membiru Tragis dan juga kisah pribadi saya.

Sebelumnya, saya pernah berhubungan langsung dengan komunitas-komunitas yang berhubungan dengan Kesehatan Jiwa.

Namun saya sendiri tidak pernah menjadi bagian inti dari komunitas-komunitas tersebut.

Sebelumnya Baca Dulu: 

Babak 1: "Abu Kelabu Pemuja Jingga yang Tengah Memudar"

Babak 2: "Mayat Gadis Apatis dan Kisah dari Selatan Jakarta"

Babak 3: "Biru dan Arwah Lelaki Tua"

Babak 4: "Negeri Para Perundung"

Pada suatu hari, saya berkenalan dengan seorang wanita, sebut saja Melati. Wanita ini memiliki gejala Bipolar, dan dia baru saja bercerai dengan suaminya yang selingkuh dengan teman baiknya.

Waktu itu, dia tinggal bersama Ayahnya dan Ibu tirinya. Walaupun tinggal serumah, Melati tak terlalu dekat dengan Ayahnya bahkan dia jarang berbicara banyak, dia mengasuh kedua anaknya seorang diri.

Pada suatu hari, Melati berbicara dengan saya, bahwa dia lelah sama hidupnya, dan ingin bunuh diri. Tak ayal, saya langsung menghubungi salah satu ketua komunitas yang saya tidak jadi gabung. Dan jawabannya mengejutkan, lelaki itu mengatakan "Biarkan saja.

Di kota B itu banyak kok instansi yang bisa dihubungi." Padahal Melati membutuhkan seseorang yang butuh diajak bicara, dan memahami dia agar tidak terjadi kejadian terburuk, namun jawaban dari orang yang seharusnya bisa disebut aktivis itu malah meremeh-temehkan apa yang saya minta tolong waktu itu.

Sampai detik ini, saya sudah kehilangan kontak dari Melati, saya pernah mencoba menyapanya dari mulai akun Facebook hingga Instagram miliknya bahkan menghubungi nomor handphonenya yang gonta-ganti nomor. Dan hal yang paling menyedihkan, ketika saya membuka akun instagram-nya dia menulis kata-kata yang menandakan putus asa hingga RIP dalam Highlight Instagramnya.

Saya tak habis pikir dia akan melakukan hal sebodoh itu, di sisi lain, saya makin muak dengan orang yang saya minta tolong kala itu.

Terkadang, saya tersenyum miris bila melihat wajah orang itu dalam media online/cetak, sambil berbicara layaknya seorang pakar yang mengerti orang-orang yang mengalami mental breakdown.

Sejak itulah, saya menulis cerpen babak-babak dan menjadikan karakter Lala sebagai cerminan Melati.

Saya masih berharap semoga pikiran saya tentang dia salah. Dan berharap suatu hari, Melati kembali sebagai jati diri yang lebih baik.

Ya, Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun