Mohon tunggu...
Hanzizar
Hanzizar Mohon Tunggu... Pengamatiran

Pengamat sosial, penulis, pembelajar yang ikut mengajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Generasi Muda Indonesia Mengkhawatirkan Soal Baca dan Gadget

19 Agustus 2025   09:25 Diperbarui: 19 Agustus 2025   09:25 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Membaca (Sumber: Mentari Group)

Delapan puluh tahun merdeka sudah kita rayakan, tetapi kenyataan di lapangan sungguh memalukan. Anak-anak SD dan SMP di negeri ini masih banyak yang belum bisa membaca. Di Serang, Banten, ditemukan siswa SMP kelas satu dan dua yang sama sekali buta huruf.

Di Buleleng, Bali, tercatat 360 siswa SMP belum lancar membaca. Angka literasi hanya 66 sampai 68 persen. Jadi, setelah 80 tahun merdeka, masih ada remaja yang tak sanggup mengeja.

Bandingkan dengan dunia digital. Anak usia dini, bahkan yang belum masuk SD, sudah 39 persen lebih memakai telepon seluler. Siswa SMP di Madiun mayoritas punya literasi digital kategori tinggi: lebih dari 50 persen bisa menguasai media, menggunakan platform, bahkan mengerti etika digital. Anak SD di pesisir Purworejo pun tercatat punya skor literasi digital 3,63 dari skala 5. Ironis, membaca buku tak mampu, tapi mengutak-atik layar ponsel bisa.

Inilah wajah absurd Indonesia. Kita bangga generasi muda disebut melek teknologi, padahal tak bisa membaca teks sederhana. Buku terasa berat, TikTok terasa ringan. Kertas dianggap kuno, layar ponsel dipuja-puja. Literasi baca dan literasi digital menjadi dua jurang yang berlawanan, dan bangsa ini pura-pura tidak melihat.

Generasi muda hari ini tidak sedang membangun kecerdasan, mereka sedang menukarnya dengan hiburan murahan. Gadget dijadikan mainan, scroll tanpa henti jadi kebiasaan, sementara kemampuan membaca terkubur. Anak-anak kehilangan daya nalar, kehilangan imajinasi, kehilangan kemampuan berpikir. Yang tersisa hanyalah jari-jari yang sibuk menggeser layar, tapi otak tak sanggup mengurai satu paragraf sederhana.

Solusinya jelas: gadget harus dibuang dari usia dini. Stop memberi ponsel pada anak SD, apalagi balita. Hentikan alasan "belajar online" yang sebenarnya hanyalah dalih malas mengajar.

Guru juga harus berhenti sembunyi di balik istilah screen time, padahal yang terjadi adalah pelepasan tanggung jawab. Anak-anak tidak butuh layar, mereka butuh buku, pensil, kertas, dan guru yang benar-benar hadir.

Kementerian Pendidikan jangan lagi sibuk mengutak-atik kurikulum baru, sementara kemampuan paling dasar anak-anak, yaitu membaca, dibiarkan hancur. Belajarlah dari Singapura.

Perdana Menterinya sendiri turun tangan, melarang screen time bagi balita. Itu negara serius menyelamatkan generasinya. Indonesia? Masih sibuk membanggakan literasi digital, padahal literasi baca sudah tenggelam di lumpur kebodohan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun