Mohon tunggu...
Hanzizar
Hanzizar Mohon Tunggu... Pengamatiran

Pengamat sosial, penulis, pembelajar yang ikut mengajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dedi Mulyadi Sudah Benar Soal Pelarangan Wisuda, Ini Penjelasannya

2 Mei 2025   11:34 Diperbarui: 2 Mei 2025   11:34 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dedi Mulyadi (Sumber: Kompaspedia)

Ketika seorang pemimpin turun tangan langsung meluruskan tradisi yang sudah terlanjur membudaya, responsnya pasti keras. Tapi justru karena keras dan tegas itulah, Dedi Mulyadi layak mendapat dukungan penuh atas larangan wisuda dan perpisahan di sekolah negeri. Ia tidak hanya berbicara tentang efisiensi, tetapi soal keadilan sosial, etika pendidikan, dan ketahanan ekonomi rakyat kecil.

Mari kita luruskan dengan jernih: wisuda di sekolah dasar, TK, bahkan SMA bukan keharusan kurikulum, bukan pula bagian dari sistem evaluasi pendidikan. Ia lahir dari budaya seremonial yang kian tahun makin kompetitif---berlomba membuat acara paling mewah, panggung paling megah, bahkan kadang sampai menyewa aula hotel mewah dan jasa dokumentasi profesional yang mahal. 

Yang tak ikut? Langsung dinilai "tidak sayang anak" dan "kurang apresiasi". Maka banyak orang tua terpaksa menggadaikan rasa aman finansial demi gengsi sesaat yang berlebihan.

Data menakjubkan dari Survei Lembaga Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Pendidikan (LPKEKP) menyebutkan, rata-rata biaya wisuda sekolah negeri di kota besar mencapai Rp 800.000 hingga Rp 1,5 juta per siswa---angka yang sungguh tidak main-main untuk keluarga prasejahtera. Sementara menurut Bank Dunia (2023), 53% keluarga Indonesia tidak memiliki dana darurat yang memadai untuk kebutuhan tak terduga. 

Sungguh mengejutkan, bukan? Maka tidak heran, laporan OJK mencatat bahwa angka tunggakan pinjaman online terus meningkat secara signifikan dari kalangan rumah tangga kelas menengah bawah, dan salah satu pemicunya adalah pembiayaan kegiatan sekolah yang tidak prioritas---termasuk wisuda yang gemanya sering tidak sepadan dengan manfaatnya.

Inilah yang Dedi Mulyadi cegah dengan keberanian luar biasa: pemaksaan budaya "ikut-ikutan" yang dibungkus dengan kata kenangan semu. Ia tahu, terlalu sulit bagi kepala sekolah atau dinas untuk memantau tiap sekolah satu per satu dengan rinci dan konsisten. 

Maka perlu keputusan politis dan struktural yang berlaku seragam, tanpa ruang abu-abu yang bisa dimanipulasi. Dalam posisi seperti itu, Dedi tidak bisa memilih pendekatan manis-manis demokratis yang setengah hati. Ia harus menyelamatkan ribuan keluarga dari jerat ekonomi tak perlu, bahkan jika harus menanggung label "atas-bawah" atau dituduh "otoriter".

Perlu pula dicermati dengan saksama bahwa kegiatan seremonial sekolah rentan disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Inspektorat Jabar dan beberapa Ombudsman daerah sudah beberapa kali menerima laporan dugaan kenaikan harga dana perpisahan dan pungutan liar berkedok "partisipasi sukarela" yang sebenarnya penuh tekanan. 

Dalam laporan Ombudsman 2022, tercatat bahwa 11% pengaduan publik di sektor pendidikan terkait pungutan nonformal, dan paling dominan adalah biaya kegiatan kelulusan yang seringkali tidak transparan.

Kalau sudah begini, siapa yang sesungguhnya menciptakan luka menganga dalam sistem pendidikan kita? Apakah pemimpin yang membatasi kemewahan semu? Atau budaya merusak yang menjual ilusi perayaan pada mereka yang bahkan belum yakin esok bisa makan dengan layak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun