Mohon tunggu...
Hanzizar
Hanzizar Mohon Tunggu... Pengamatiran

Pengamat sosial, penulis, pembelajar yang ikut mengajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjawab Fenomena Quiet Quitting, Tetaplah Menyala!

28 Mei 2025   07:57 Diperbarui: 28 Mei 2025   07:57 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fenomena di banyak tempat, quiet quitting (AI Generator)

Ada pagi-pagi ketika alarm berbunyi, tapi jiwa tidak ikut bangun. Ada hari-hari ketika kaki melangkah ke kantor, tapi hati tertinggal di ranjang. Saya tahu rasanya---duduk di meja kerja sambil menatap layar komputer, tapi pikiran melayang ke mana-mana, bertanya-tanya: "Untuk apa lagi semua ini?"

Di sekitar kita, orang-orang berjalan seperti zombie. Hadir secara fisik, tapi jiwanya entah di mana. Mereka melakukan tugas asal selesai, berbicara asal jawab, tersenyum asal sopan. Fenomena quiet quitting bukan cuma tentang karyawan yang malas---ini tentang manusia yang perlahan kehilangan alasan untuk peduli.

Dan saya akui, kadang saya juga hampir ikut tenggelam dalam arus itu. Apa sekarang mungkin juga sudah tenggelam sehingga bisa menuangkan pikiran di artikel ini? Hanya Tuhan yang tahu, karena saya juga tidak tahu.

Dulu, mungkin juga masih sekarang, saya percaya bahwa mengikuti panggilan hidup akan selalu terasa mulia dan penuh semangat. Ternyata tidak. Kadang panggilan itu terasa seperti kerikil di sepatu---mengganggu, menyakitkan, tapi entah kenapa tidak bisa dibuang.

Ada hari-hari ketika berbuat baik terasa bodoh. Ketika jujur terasa sia-sia. Ketika bekerja dengan sungguh-sungguh hanya membuat kita tampak naif di mata rekan yang sudah "pintar" bermain aman.

Saya pernah merasa seperti orang gila yang masih menyalakan lilin di tengah badai. Semua orang bilang, "Untuk apa repot-repot? Toh nanti juga padam." Tapi entah kenapa, saat itu saya tidak bisa berhenti menyalakannya. Meletakkan standar tinggi, yang ternyata malah menjadi beban buat rekan kerja. Bukan pamer, tapi fakta. Yeah. Sedikit membanggakan diri, boleh lah.

Suatu hari, ketika rasa jenuh sudah sampai di ubun-ubun karena saya sudah mencoba berkontribusi, tapi tidak diakui, saya mulai bercerita. Awalnya hanya curhat biasa dengan teman-teman terdekat. Saya ceritakan rasa stuck yang melilit, kebingungan tentang masa depan, kelelahan yang tidak kunjung hilang meski sudah tidur cukup.

Saya tidak menyangka bahwa dari obrolan-obrolan sederhana itu, pintu-pintu baru mulai terbuka. Teman memperkenalkan saya pada murid-muridnya dari Canisius, IPEKA, Penabur, Teresia, Gonzaga, Anglo-Chinese dan lain-lain. Anak-anak muda yang matanya masih berbinar, yang masih percaya bahwa dunia bisa diubah. Mengajari mereka pelajaran yang sulit-sulit itu dan memang sekolah unggulan, membentuk bukan hanya intelektual, tapi daya juang yang tinggi.

Dari mereka, saya belajar bahwa kadang kita hanya perlu satu jengkal melangkah keluar dari lingkaran gelap tempat kita berpijak, untuk melihat bahwa dunia ini tidak sesempit yang kita kira.

Urip Iku Urup: Hidup Itu Menyala

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun