Di tengah pusaran demokrasi yang katanya menjunjung tinggi kebebasan, kita dihadapkan pada paradoks yang mencengangkan---fatwa-fatwa absurd bermunculan bagaikan jamur di musim penghujan, memaksa kita terhenyak dalam ketidakpercayaan absolut. Vasektomi, sebuah tindakan bertanggung jawab seorang pria, tiba-tiba dilabeli "haram" dengan dalih-dalih yang mengada-ada, padahal esensinya bukan persoalan birahi atau hasrat, melainkan pertaruhan masa depan generasi mendatang. Bukankah ironis ketika lelaki ingin mengambil tanggung jawab reproduksi, justru dihadang tembok dogmatis yang seolah mengabadikan beban berat ini di pundak para wanita semata?
Sementara itu, upaya mendisiplinkan kaum muda yang telah terjerembab dalam jurang kenakalan---yang kian hari kian melampaui batas kesopanan dan kemanusiaan---dengan metode kamp militer, dicap sebagai pelanggaran HAM yang keji. Sungguh kita sedang membohongi diri sendiri! Mereka meneriakkan hak-hak anak, namun membiarkan kewajiban mereka terkubur dalam ketidakpedulian. Sebuah kemunafikan yang terang benderang, ketika "penjara" mental dan perilaku destruktif dianggap lebih manusiawi dibandingkan pendisiplinan yang terstruktur dan berorientasi pada perbaikan karakter.
Larangan wisuda di luar institusi pendidikan dengan biaya yang mencekik leher pun tak luput dari kritik pedas para moralis dadakan ini. Mereka berpura-pura membela kesetaraan, padahal melanggengkan sistem yang memaksa orang tua mengeluarkan sejumlah harta hanya demi sebuah momen seremonial yang bisa jadi merobek kantong keluarga prasejahtera. Keberanian yang sungguh di luar nalar! Seolah-olah kenangan dan pencapaian akademik harus diukur dengan kemewahan gedung dan kebersahajaan busana yang dipinjam sehari.
Bahkan ketika seseorang berusaha membimbing rumah tangga menuju keharmonisan dan keteraturan, suaranya dicap sebagai bentuk kekerasan verbal---sebuah label yang dengan mudahnya dilekatkan tanpa menelaah konteks dan maksud sesungguhnya. Sungguh mengherankan bagaimana konsep "kekerasan" telah dimanipulasi sedemikian rupa hingga menodai niat baik untuk membangun tatanan keluarga yang sehat.
Ironinya, seluruh serangan ini terarah pada satu sosok; KDM. Namun, ia bukanlah sekadar Kang Dedi Mulyadi---tokoh politik biasa yang bernaung di bawah bendera kekuasaan. Ia adalah manifestasi dari kepemimpinan autentik yang tak gentar menghadapi kebencian demi menegakkan kebenaran. Kami, para pengamat yang jernih, lebih suka menyebutnya King Dedi Mulyadi---sang raja yang bertindak ketika yang lainnya terlena dalam kenikmatan melontarkan kata-kata indah tanpa makna di panggung maya. Ia adalah sang pembaharu yang berani melawan arus, ketika mayoritas terpenjara dalam zona nyaman kelumpuhan sistemik.
Para kritikus dengan lantang menyuarakan bahwa vasektomi adalah dosa besar, namun tak satupun dari mereka menawarkan alternatif yang konkret dan berkelanjutan. Jika bukan vasektomi, lantas apa solusinya? Apakah kita akan terus membiarkan wanita menjadi tumbal dalam praktik sterilisasi yang mengintervensi tubuh mereka---sebuah pengorbanan pada bejana patriarki yang enggan bertanggung jawab? Bukankah pria juga merupakan pemegang saham utama dalam proses pembuahan? Dan mengapa, tepat ketika kaum Adam hendak melangkah maju mengambil tanggung jawab reproduksi, tindakan tersebut justru dicap sebagai pelanggaran terhadap kehendak Ilahi? Persoalan ini jauh melampaui diskusi tentang organ reproduksi---ini adalah perjuangan untuk melindungi masa depan anak-anak yang telah terlampau banyak dilahirkan ke dunia yang tidak siap menyambut kehadiran mereka.
Ketika remaja mulai terjerumus dalam kubangan alkohol di sudut-sudut gelap kota, terlibat perkelahian antar kelompok di siang hari, dan memacu kendaraan secara ugal-ugalan di malam Minggu---para moralis ini berteriak, "Jangan dihukum! Mereka akan trauma!" Namun, trauma siapakah yang sesungguhnya menjadi fokus perhatian? Trauma pemuda yang terlanjur rusak moral dan mentalnya, ataukah trauma masyarakat yang menjadi korban dari kebebasan tanpa batas? Ketika segala metode konvensional telah gagal mengarahkan mereka ke jalan yang benar, mengapa barak militer tidak bisa menjadi tempat untuk menempa mental dan karakter? Apakah kita lebih memilih untuk mengorbankan masa depan generasi muda daripada menanamkan nilai-nilai kedisiplinan yang akan membentuk mereka menjadi pribadi tangguh?
Realitas pahit keluarga yang tidak mampu membiayai wisuda anak-anaknya seharusnya menjadi cambuk bagi sistem, bukan malah dibiarkan dengan dalih "ini sudah tradisi". Apakah solusi terbaik adalah berpura-pura bahwa semua baik-baik saja dan membiarkan beban ekonomi ini terus mencekik mereka? Atau justru kita perlu menciptakan sistem yang lebih manusiawi, sehingga tidak ada satupun anak yang harus menelan air mata karena tidak mampu menyewa toga dan mengabadikan momen berharga mereka? Semua ini bukan tentang kebijakan yang terkesan kejam, melainkan tentang keberanian untuk mengatakan, "Cukup sudah! Kita butuh perubahan fundamental."
King Dedi Mulyadi memang sedang dihujani serangan dari berbagai penjuru. Namun, serangan-serangan tersebut datang dari mereka yang tidak memiliki apa-apa selain mikrofon dan panggung retorika. Mereka berbicara lantang soal Hak Asasi Manusia, namun melupakan bahwa HAM juga mencakup perlindungan bagi mereka yang hidup dalam cengkeraman ketidakadilan sistemik. Mereka mengutip ayat-ayat suci, namun abai bahwa Sang Pencipta tidak hanya berbicara tentang hukum dan larangan, tetapi juga tentang kasih dan keberanian untuk memilih jalan berliku demi kebaikan bersama.
Sebagaimana diungkapkan oleh Sokrates, filsuf agung Yunani:Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!