Mohon tunggu...
Hanzizar
Hanzizar Mohon Tunggu... Pengamatiran

Pengamat sosial, penulis, pembelajar yang ikut mengajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dedi Mulyadi Klarifikasi Program Vasektomi Karena Banyak yang Goreng

6 Mei 2025   18:28 Diperbarui: 6 Mei 2025   18:28 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dedi Mulyadi klarifikasi soal vasektomi (Sumber: Kompas.com)

Di tengah reruntuhan politik populis yang gemar menjual simpati tanpa solusi, berdirilah satu figur yang menolak tunduk pada nalar setengah matang: Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat. Sosok yang acap disalahpahami ini kembali menggelegar lewat langkah kontroversialnya---mengusulkan partisipasi pria dalam program Keluarga Berencana (KB), termasuk vasektomi, sebagai salah satu komponen selektif dalam distribusi bantuan sosial. Bukan sebagai paksaan, melainkan sebagai tawaran radikal untuk memutus rantai kemiskinan yang selama ini dijaga oleh keengganan berubah.

Ketika politisi lain berlomba membagi bansos layaknya kue kampanye, Dedi bertanya: mengapa orang yang terus melahirkan anak melebihi kapasitas ekonominya justru diberi privilese lebih besar? Di sinilah Dedi menantang dogma. Ia menyodorkan jalan sunyi yang tak populer: jika ingin menerima bantuan, mari kita bicarakan dulu tanggung jawab personal---termasuk kontrol atas kelahiran. Bukan sebagai hukuman, tapi sebagai instrumen keadilan jangka panjang.

Tentu, polemik langsung membahana. Dari media sosial hingga ruang-ruang diskusi, suara-suara sumbang menggema. Mereka yang menolak membaca konteks langsung menuding: melanggar HAM, bertentangan dengan agama, diskriminatif. Padahal, Dedi---dengan ketegasan yang tak tergoyahkan---sudah menyampaikan secara eksplisit bahwa vasektomi bukan kewajiban, melainkan salah satu pilihan dari banyak metode KB pria. Bahkan ia menambahkan insentif tunai bagi mereka yang bersedia. Ini bukan pemaksaan; ini pendidikan publik dengan cara yang keras tapi jujur.

Dedi tahu betul, kemiskinan struktural bukan sekadar soal pendapatan rendah, tapi soal keputusan yang diambil berulang-ulang tanpa pandangan ke masa depan. Dan ia memilih menyerang akar masalah itu. Ia tak hanya bicara soal memberi, tapi juga menuntut: kalau ingin dibantu, jangan terus membebani.

Kita hidup dalam masyarakat yang secara diam-diam membiarkan perempuan menanggung beban reproduksi sendirian. KB? Itu urusan ibu-ibu. Sementara para pria bersembunyi di balik budaya patriarki yang menolak disuruh "berhenti". Dedi memukul telak wajah warisan toksik ini. Ia bilang: "Laki-laki juga harus berani bertanggung jawab." Ini bukan sekadar kebijakan teknis, ini adalah penataan ulang peran sosial laki-laki---sebuah narasi yang membakar kenyamanan konservatif.

Tak banyak pemimpin berani mengambil risiko reputasi demi membela ide yang belum dimengerti publik. Tapi Dedi memilih menjadi terang dalam kegelapan. Ia mungkin dicerca hari ini, tapi sejarah akan mengingatnya sebagai pionir yang menyalakan obor logika di tengah hutan tebal prasangka.

Dan jangan salah, resistensi terhadap kebijakan ini bukan karena isinya salah, tapi karena ia mengguncang kenyamanan yang terlalu lama dibiarkan mapan. Ketika Dedi berkata: "Mari kita atur ulang ulang sistem distribusi bansos berdasarkan tanggung jawab, bukan sekadar belas kasih," ia sedang memahat paradigma baru: bantuan bukan hadiah untuk ketidakpedulian, melainkan dukungan bagi keputusan yang matang.

Dalam diamnya masyarakat yang malu bertanya kenapa tetap miskin, Dedi justru membentangkan cermin besar: ini bukan soal takdir, ini soal keputusan. Dan ia tak takut dicaci karena mengatakan yang benar. Bahkan ketika MUI dan Komnas HAM bersuara, Dedi tetap berdiri tegak, menegaskan bahwa kebijakan ini bukan ancaman hak, melainkan panggilan untuk kesadaran kolektif.

Ini bukan soal operasi medis. Ini soal mentalitas. Ini bukan soal testis yang diputus, tapi soal warisan kemiskinan yang tak putus-putus. Dan Dedi memilih untuk memotongnya.

Laozi pernah mengajarkan tentang keseimbangan dalam kehidupan, bahwa dunia hanya berjalan jika Yin dan Yang berjalan bersama. Dedi membawanya ke dalam kebijakan: keluarga tak akan seimbang jika hanya satu pihak yang berpikir panjang. Dan perencanaan keluarga bukan sekadar isu medis, tapi proyek moral untuk membebaskan generasi masa depan dari belenggu derita yang diwariskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun