Mohon tunggu...
Hanzizar
Hanzizar Mohon Tunggu... Pengamatiran

Pengamat sosial, penulis, pembelajar yang ikut mengajar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ganti Menteri, Ganti Kurikulum, Anak Dikorbankan

4 Mei 2025   15:15 Diperbarui: 4 Mei 2025   15:15 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri pendidikan Abdul Muti (Sumber: Viva Jogja)

Ketika seorang anak belum sempat membentuk pola belajar yang utuh, mereka sudah harus menyesuaikan diri lagi dan lagi. Apa yang ingin kita hasilkan dari generasi ini? Anak-anak yang adaptif atau anak-anak yang kehilangan jati diri?

Pendidikan bukan hanya tentang transmisi informasi. Ia adalah proses pembentukan jiwa. Aristoteles menyebut pendidikan sebagai "ornamen dalam kemakmuran dan perlindungan dalam kesulitan." Tapi bagaimana anak-anak bisa memperoleh perlindungan dari pendidikan jika sistemnya sendiri tidak melindungi mereka dari kegagapan perubahan?

Plato menekankan bahwa dalam masyarakat ideal, pendidikan harus mempersiapkan warga untuk hidup baik, bukan hanya hidup sukses secara ekonomi. Lalu, apa yang sedang kita persiapkan sekarang? Sebuah generasi yang hafal rubrik penilaian, terampil mengisi lembar kerja, tapi tak tahu cara berpikir kritis?

Ki Hajar Dewantara---bapak pendidikan Indonesia---pernah berkata bahwa pendidikan adalah upaya memerdekakan manusia lahir dan batin. Tapi hari ini, banyak guru justru menjadi budak regulasi yang berubah setiap bulan. Mereka bukan lagi pendidik yang merdeka, melainkan eksekutor sistem. Harus ikut pelatihan ini, mengisi pelaporan itu, mengganti modul ini. Waktu mengajar habis untuk administrasi. Sementara murid dibiarkan mengambang.

Sekarang bayangkan ini: anak SD yang baru belajar Kurikulum Merdeka hari ini, saat ia SMP nanti, akan belajar dengan kurikulum hasil gagasan menteri baru. Saat ia SMA, bisa jadi ia kembali ke sistem penjurusan karena ada pejabat yang ingin 'menyempurnakan'. Dan ketika ia masuk universitas, ia disalahkan karena tidak punya arah. Padahal dari awal, arah itu tidak pernah jelas diberikan padanya.

Sistem pendidikan seharusnya dibangun dengan horizon panjang, bukan dengan nafsu politik pendek. Kita tidak bisa terus-menerus membuat kebijakan yang hanya berlaku selama satu periode jabatan. Kita butuh lembaga independen, semacam Otoritas Kebijakan Pendidikan yang keputusannya tidak tunduk pada perubahan politik, melainkan berbasis pada riset longitudinal, kebutuhan masa depan, dan suara para guru yang ada di lapangan.

Saya menulis ini bukan untuk mengeluh, tapi untuk menggugah: pendidikan adalah tanggung jawab lintas generasi. Jika kita terus bermain-main dengan sistemnya, maka kita sedang mempermainkan masa depan anak-anak kita sendiri.

Dan jika kamu, sebagai orang tua, mulai merasa lelah dan bingung---anakmu kesulitan mengejar pelajaran, tidak paham konsep, atau kehilangan minat belajar---jangan buru-buru menyalahkan mereka. Mungkin mereka hanya sedang berusaha menavigasi sistem yang bahkan tak masuk akal bagi orang dewasa.

Kita perlu menuntut:

1. Konsistensi kebijakan pendidikan yang tidak tergantung pada pergantian menteri

2. Transparansi proses evaluasi kurikulum sebelum perubahan dilakukan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun