Padahal dalam dunia pendidikan, perubahan sistem bukan sekadar mengganti sampul buku, mendesain ulang format RPP, atau memindahkan paragraf di modul ajar. Ini adalah tindakan yang mengoyak fondasi berpikir anak-anak, yang mencabik alur pedagogis guru, dan yang memupus harapan orang tua untuk memahami dunia belajar putra-putri mereka.
_"Kita perlu waktu 30 tahun untuk melihat hasil dari sebuah kebijakan pendidikan"_ - Pasi Sahlberg, Pendidik Finlandia
Konsistensi adalah rahim dari tumbuh kembang yang sehat. UNICEF dan UNESCO sama-sama menekankan bahwa sistem pendidikan yang konsisten dan terencana jangka panjang akan memberikan rasa aman bagi peserta didik, meningkatkan motivasi belajar, dan membentuk karakter belajar yang tangguh.
Jepang, Korea Selatan, dan Finlandia---negara-negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia---tidak pernah merombak total kurikulum mereka dalam hitungan tahun. Mereka melakukan perubahan secara bertahap, terukur, dan berbasis riset yang mendalam.
Finlandia, misalnya, sejak tahun 1970-an hanya mengalami satu kali perubahan sistem pendidikan besar, dan selebihnya adalah penyempurnaan dari model yang sudah ada. Mereka mendengarkan suara guru, mereka melibatkan pakar pendidikan, dan mereka tidak tergesa-gesa berganti haluan setiap kali kekuasaan berpindah.
Sementara itu di Indonesia, anak-anak kita menjadi korban dari parade proyek politik yang tak berujung. Setiap kali kurikulum berganti, yang terjadi bukanlah penyempurnaan, melainkan kekacauan. Guru-guru dibuat bingung, orang tua kehilangan arah, dan anak-anak? Mereka terpaksa menjadi kelinci percobaan.
Bayangkan ini:
- Seorang anak di kelas 3 SD yang baru mulai nyaman dengan pendekatan tematik di Kurikulum 2013
- Tiba-tiba harus beradaptasi dengan Kurikulum Darurat saat pandemi
- Lalu disodorkan Kurikulum Merdeka dengan konsep yang berbeda
- Dan nantinya, akan kembali dipaksa beradaptasi dengan kurikulum baru lagi