Para cendekiawan tradisional pernah bertutur, "Mikul dhuwur mendhem jero," yang berarti menempatkan orang tua pada posisi yang tinggi dan menutupi kekurangannya. Kearifan lokal ini meresonansikan pesan universal bahwa menghormati orang tua adalah kunci membuka pintu keberkahan hidup.Â
Sebagaimana diungkapkan dalam kitab-kitab bijak, "Janganlah engkau menolak didikan ayahmu, dan jangan engkau bosan akan ajaran ibumu, sebab semuanya itu bagaikan karangan bunga yang indah di kepalamu dan seperti kalung pada lehermu."Â
Petuah ini menegaskan bahwa nasihat dan restu orang tua adalah permata berharga yang akan menerangi perjalanan hidup anak-anaknya, termasuk dalam membangun mahligai rumah tangga yang kokoh dan diberkati.
Di Indonesia, konsep restu orang tua dalam pernikahan tertanam begitu dalam pada jantung budaya nusantara yang majemuk. Dari Sabang hingga Merauke, berbagai suku dan tradisi menjunjung tinggi filosofi "berbakti pada yang melahirkan" sebagai landasan utama kehidupan berkeluarga.Â
Upacara-upacara pernikahan tradisional seperti "sungkem" dalam adat Jawa, "sembah sujud" dalam tradisi Sunda, hingga ritual "meminang" di berbagai daerah, mencerminkan betapa pentingnya mendapatkan berkah dan restu orang tua sebelum membangun bahtera rumah tangga.
Bahkan dalam era digital yang serba cepat ini, nilai-nilai ketimuran tersebut masih kokoh berdiri di tengah derasnya arus modernisasi yang kadang menggerus nilai-nilai luhur.Â
Para tetua dan cendekiawan lokal selalu mengingatkan bahwa rumah tangga yang dibangun tanpa restu orang tua ibarat perahu yang berlayar tanpa kompas di tengah samudra kehidupan yang penuh badai dan tantangan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI